Minggu, 03 Mei 2009

Buku Mahkota Hijau UI

MAHKOTA HIJAU

UNIVERSITAS INDONESIA

OLEH :

TIM BINAAN HUTAN KOTA UNIVERSITAS INDONESIA

SUBDIT. PEMBINAAN LINGKUNGAN KAMPUS

DIREKTORAT UMUM DAN FASILITAS

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2009


BAB I

PENDAHULUAN


1.1. Bangkitnya Gagasan Program Hutan Kota

Kota Volgograd di tepi sungai Volga dipuji atas prestasinya yang sudah lama dalam membangun hutan-hutan kota. Pembangunan hutan-hutan kota di kota Uni Sovyet itu terutama dimaksudkan sebagai jalur pelindung (shelter belt) dan pematah angin (windbreak), yaitu untuk tujuan mengurangi pengaruh-pengaruh laju kecepatan angin, dan ameliorasi iklim, sehingga dipilih spesies-spesies pohon yang tepat dengan habitatnya, seperti Quercus sp, Robinia sp, Acer sp, Ulmus pumila, dan beberapa spesies belukar seperti Ribes aurium, Ribes rubrum, dan Ribes ningrum.

Walaupun demikian, Kota Volgograd juga menjadi suatu kota industri yang telah berkembang sangat cepat, hingga pada dekade tahun 1970-an, telah merasakan keperluannya akan hutan-hutan kota baru untuk melindungi penduduk dari pengaruh polusi zona industri. Akan tetapi keperluan hutan-hutan kota tersebut belum sempat dapat dipenuhi.

1

Para perencana tata kota di New York dan Cairo memiliki pendapat yang sama bahwa penduduk perkotaan yang diikuti dengan menjulangnya gedung-gedung tinggi pada setiap jengkal tanah yang tersedia, serta menutupi lahan-lahan terbuka dengan pengerasan-pengerasan batu, bata merah, plesteran, dan atau aspal, sangat merasakan pengaruh lingkungan-nya yang merubah suhu udara dan kenyamanannya. Mereka menemukan bahwa usaha-usaha mengatasi keadaan tersebut hanya dengan tetumbuhan baik tanaman pepohonan maupun rerumputan yang ternyata dianggap belum memadai atas keseimbangannya. Akhirnya ditemukan bahwa ternyata yang diperluakan ialah pepohonan dalam tegakan, berbentuk hutan-hutan kota yang belum sempat diadakan karena memerlukan sumber

daya dan sumberdana yang cukup besar.

Para pengelola kota Frankfurt dan Chicago, semula merasa puas dengan hutan-hutan kota yang mereka bangun di pinggiran kota dalam rangka melindungi kota-kota metropolitan dari berbagai ketidakserasian lingkungan. Akan tetapi kini mereka berpendapat bahwa hutan-hutan kota yang dibangun, tidak hanya harus diadakan di pinggiran kota, tetapi justru diperlukan juga di tengah kota (inner city).

Pendapat para pengelola kedua kota tadi ternyata mendapat dukungan dari hasil-hasil penelitian di Uppsala, Swedia. Dalam penelitian tersebut menelusuri lokasi-lokasi hutan kota setepat-tepatnya, untuk kepentingan rekreasi. Hasil penelitian tersebut 60% hingga 80% masyarakat pencari rekreasi alam (outdor recreation) cenderung lebih menyukai hutan-hutan rekreasi tidak jauh dari tempat tinggalnya, yaitu paling jauh 5 km.

Teladan-teladan dari kota-kota besar dunia yang baru saja diungkap-kan, telah memberikan sumbangan pengalaman serta pelajaran bahwa sesungguhnya hutan-hutan kota itu mutlak diperlukan di kota-kota besar dan pada setiap saat disadari keperluan itu mereka semua sudah terlambat karena harus berhadapan dengan masalah-masalah yang tampaknya seolah-olah bersaing dengan tuntunan keperluan hutan kota.

Pertumbuhan serta perkembangan kota-kota dimanapun di dunia ini, tampaknya mengikuti skenario dengan hasil-hasilnya yang serupa ialah mendesak keutuhan hutan-hutan kota yang diakibatkan oleh faktor-faktor yang sama pula, yaitu kebutuhan ruang dan tanah untuk kepentingan manusia. Sebidang vegetasi kayu yang semula sudah ada, harus mengalah karena penyediaan lahan untuk untuk bangunan perumahan, perkantoran, sarana jalan, tempat-tempat parkir, kolam renang, saluran-saluran drainase, jaringan telepon, listrik dan gas bawah tanah, dan wadah-wadah pem-buangan limbah maupun sanitasi lainnya.

Kebutuhan lahan yang semula keteduhan-keteduhan dari perlindu-ngan naungan pepohonan, tiba-tiba menjadi terbuka sehingga permukaan tanah langsung dipengaruhi sinar matahari, butir-butir air hujan, dan pengaruh kekuatan laju aliran angin. Bentuk medan dan lereng-lereng dimanipulasi, arah-arah saluran drainase alami diluruskan, permukaan tanah dirombak, bahkan sering kali dipadatkan. Dari kegiatan-kegiatan yang kurang terencana, serta dengan memanfaatkan peralatan berat dan ekskavasi tersebut telah menggantikan lapisan tanah atas (top soil) oleh lapisan tanah bawah (sub soil), sehingga mempengaruhi arah-arah sirkulasi air secara alami, serta merubah pola-pola drainase tanah dan di atas permu-kaannya.

Hambatan lebih jauh terhadap vegetasi hutanpun ditemui di atas permukaan tanah, karena keperluan-keperluan ruang lebih banyak dalam pembangunan kota yang telah menyita lahan produktif dan vegetasi kayu lebih besar lagi. Vegetasi dikorbankan bagi pemandangan-pemandangan gedung yang bertetangga, fasilitas-fasilitas listrik, telepon dan lain-lain di atas tanah, sehingga jarak pandang harus diperluas dengan cara membebas-kan pepohonan. Demikian halnya untuk keperluan tanda-tanda lalu-lintas, rambu-rambu jalanan, dan lampu-lampu sepanjang jalan, juga mengorban-kan tetumbuhan. Walaupun pada dasarnya hutan kota merupakan keperluan bagi warga kota yang semakin esensiil, tetapi buah penanga-nannya yang tidak berencana, sering kali tidak sadar telah mendesak lebih jauh lagi terhadap eksistensi vegetasi kayu, dari kehadiran di antara warga kota.

Sejak awal sejarah kebudayaan umat manusia, sesungguhnya pepo-honan telah senantiasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan lingkungan kehidupannya. Bagi manusia pepohonan telah memberikan bahan makanan, dan bahan bakar, menjadi pelindung untuk berteduh, serta memberikan kepuasan, kesenangan, dan keindahan.

Karena pertumbuhan penduduk dibarengi dengan pembangunan dan perkembangan kota-kota seperti diungkapkan dimuka, maka seolah-olah manusia kota itu semakin jauh dengan vegetasi kayu. Skenario pertum-buhan penduduk dengan perkembangan pembangunan kotanya itu berlang-sung sangat cepat pula. Kecenderungan skenario itu sudah hampir selalu berulang terjadi, dengan tumbuh berkembangnya kota-kota besar baru di dunia. Namun demikian, kesadaran akan kebutuhan pembangunan hutan kota, serta melestarikannya senantiasa baru muncul pada saat-saat sumber daya kawasan hijau perkotaan sudah hampir sirna.

Kesadaran akan fungsi serta pentingnya hutan kota di DKI Jakarta sebenarnya telah tampil pada awal dekade tahun 1970-an. Dengan segera dibentuknya Dinas Pertamanan di lingkungan pemerintah daerah pada waktu itu, serta tekad Pemerintah Daerah untuk memulai dan mengga-lakkan gagasan serta program hutan kota, sebenarnya praktis sudah dimulai. Gerakan penghijauan adalah etiket yang digunakan pada waktu itu untuk gagasan dan program yang sesungguhnya sama dengan hutan kota. Masyarakat menjadi saksi bahwa sudah sangat banyak hasil-hasil yang telah dicapai oleh gerakan penghijauan, selama lebih dari 30 tahun sampai saat sekarang. Akan tetapi pertumbuhan penduduk serta pembangunan kota Jakarta, telah berlangsung cepat sekali sehingga menuntut kebutuhan akan hutan kota yang lebih besar lagi. Tampaknya semangat serta tekad gerakan penghijaun tahun 1970-an itu perlu digalakan kembali, serta ditingkatkan dalam besaran dan mutunya agar dapat mengejar tuntutan keseimbangan antara lingkungan alam yang semakin terdesak oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat perkotaan yang semakin besar. Untuk itulah, maka dirasakan keperluan konsep dan program Hutan Kota di DKI Jakarta yang menjadi perhatian khusus dalam tulisan ini. DKI Jakarta harus memanfaatkan momentum gerakan penghijauan yang telah dipunyainya guna mengem-bangkan gagasan dan program Hutan Kota.

1.2. Batasan Dan Jangkauan

Program hutan kota (urban forestry) adalah kegiatan khusus kehutanan yang bertujuan mengelola vegetasi kayu (pohon) bagi kepen-tingan kesejahteraan fisiologik, sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan. Tercakup ke dalam rumusan di atas ialah program komprehensif untuk mendidik penduduk kota tentang peranan vegetasi kayu (pohon) dalam lingkungan perkotaan. Dalam lingkup pengertiannya yang lebih luas lagi, program dimaksud merupakan sistim pengelolaan serta yang mencakup daerah-daerah aliran perkotaan, kehidupan satwa liar, wahana rekreasi alam, desain lansekap, proses recycling limbah perkotaan, tindakan silvikultur, dan produksi kayu terbatas. Apabila dikaji lebih dekat, rumusan pengertian yang disusun oleh kelompok kerja konsep Hutan Kota dari Society of American Foresters (SAF) bertolak dari dua pengertian kunci, yaitu pohon (vegetasi kayu) dan penduduk kota. Dengan perkataan lain, konsep membahas segala peluang yang terbuka dari potensi kayu dihu-bungkan dengan kepentingan kesejahteraan penduduk kota. Oleh karena itulah, berdasarkan konsep tersebut pengertian vegetasi kayu meliputi segala potensi dari tegakan-tegakan hutan yang umum dikenal sampai ”sebatang pohon”. Tempat tumbuh dari potensi yang dimaksud itu tidak dibatasi oleh wilayah administrasi kota, tetapi mencakup lahan-lahan di luar batas-batas kota, yaitu di daerah-daerah pinggiran kota (suburb) sepanjang lahan-lahan dengan potensi vegetasi kayunya merupakan obyek kepentingan penduduk kota. Berdasarkan pengertian konsep yang baru saja terungkap itu, statistik hutan kota lalu meliputi vegetasi sepanjang jalan (road side trees), sepanjang sungai (streams), empang-empang dan danau-danau, jalur-jalur hijau, dan bahkan padang-padang gembala (meadows) yang biasanya tidak pernah diliputi sebagai kawasan hutan.

Seorang pelopor program hutan kota terkemuka Jorgensen yang tahun 1977 dipandang atas konsepsi dasar program hutan kota, tidak sependapat dengan pengertian yang baru saja diungkapkan itu. Rumusan-nya tentang hutan kota Jorgesen (1977) membatasi hal-hal di bawah ini:

(1). Lahan hutan kota minimal ditetapkan 50-100 hektar;

(2). Lokasi hutan kota harus dalam jarak tempuh yang dapat dicapai dengan berjalan kaki dari pusat pemukiman penduduk padat, kriteria lain adalah jarak sama yang ditempuh dari titik akhir jaringan trans-portasi umum atau setara waktu yang diperlukan pejalan kaki atau apabila menggunakan sepeda;

(3). Pengelolaan hutan kota harus didasarkan kepada unit tegakan hutan, sehingga pemeliharaan pohon-pohon individual seperti pada taman-taman atau sepanjang jalan, tidak dapat dikatakan sebagai hutan kota;

(4). Harus terbuka bagi kepentingan umum.

Banyak ahli-ahli program hutan kota lain berpendapat bahwa batasan Jorgensen (1977) sebenarnya sangat cocok untuk kondisi dan situasi di negara-negara Skandinavia. Walaupun kebanyakan para ahli itu juga tidak sependapat dengan konsep yang telah diungkapkan terdahulu yang berlaku di Amerika Serikat dan dipelopori oleh seorang tokoh program hutan kota kenamaan lainnya yaitu Andersen. Mereka menggarisbawahi bahwa karena tidak serupanya situasi dan kondisi negara-negara di dunia, penetapan batasan luas hutan kota haruslah didasari kajian-kajian yang seksama. Terhadap konsep dari Amerika Serikat itu sebenarnya menurut Jorgensen (1977), berpendapat sama tentang lokasi dan distribusi hutan kota yang tidak perlu dibatasi oleh lingkup wilayah administrasi kota. Menurut pendapatnya ketentuan-ketentuan batas-batas administrasi itu lebih bersifat politis yang jarang dapat menghayati kepentingan geografis sebagai akibat proses urbanisasi. Dalam pada itu yang ingin lebih dipertegas oleh para ahli program hutan kota dari Canada tersebut ialah keberatannya kepada batasan ”pengurusan pohon” yang dimaksudkan menjadi hutan kota di Amerika Serikat.

Oleh karena hutan kota harus mampu memenuhi fungsi-fungsi serba guna, maka hanya tegakan-tegakan hutan yang dapat memuaskan persya-ratan tersebut. Sebatang pohon tidak mungkin dapat mendirikan fungsi serbaguna dari fungsi tetumbuhan. Atas dasar pandangan yang baru saja dikemukakan itulah maka Jorgensen (1977) merumuskan ketetapan batas minimal dari luas kawasan hutan kota yang sebaiknya harus dipenuhi.

Konsep Jorgensen (1977), akhirnya digaris bawahi oleh Hultman (1978), walaupun dalam pembahasannya lebih diarahkan terhadap telaah potensi hasil-hasil hutan kota yang dapat bersaing (rival produc). Sebagai suatu tegakan hutan serbaguna, pada dasarnya memang pengelolaannya tidak dapat mengelakkan diri dari dilema sasaran-sasarannya, apakah lebih banyak akan mengalirkan produk fisiologik di satu ekstrim, atau manfaat-manfaat ekonomik pada ekstrim lain.

Manfaat-manfaat fisiologik hutan kota akan mengalirkan jasa-jasa rekreasi kepada masyarakat sebagai akibat potensi-potensi kesegaran, kesehatan, dan keindahan yang dikandungnya, sedangkan manfaat-manfaat ekonomik adalah mengalirkan jasa-jasa produksi kayu dengan hasil-hasil ikutan lainnya dari hutan kota sebagai akibat dari potensi sumber produksi langsung yang tangibel. Dengan demikian, menurut Hultman (1978) selanjutnya, metode silvilultur tidak dapat dihindari dengan cermat untuk dilaksanakan dalam pengelolaan hutan kota, dalam menetapkan alternatif-alternatif yang paling tepat untuk memutuskan sasaran mana di antara kedua sasaran pengelolaan dimuka yang lebih menguntungkan atau mencari perpaduannya.

Hultman (1977) juga memberikan pandangannya mengenai ketentuan batas minimal hutan kota sebagai diungkapkan Jorgensen (1977) terdahulu, yaitu dengan menghubungkan batas minimum kawasan itu dengan potensi hutan negara-negara yang akan ditelaah.

Di Swedia terdapat 3 hektar sumber hutan untuk setiap 1.000 pen-duduknya, di Norwegia 2,4 hektar, di USA 1,5 hektar, Jerman 0,1 hektar, sedangkan di Inggris dan Belanda 0,02 hektar. Perbedaan-perbe-daan sikon negara-negara itu tentu saja akan memberikan persepsi-persepsi yang tidak sama, hingga di antara negara-negara tersebut melahirkan kebijaksanaan politik yang berbeda tentang batas kawasan minimal hutan kota. Sejalan dengan perbedaan batas minimal kawasan itu, ketetapan lokasi serta distribusi hutan-hutan kota tentu akan berbeda juga berapa jauh jaraknya dari pusat-pusat pemukiman penduduk padat. Akan tetapi bagaimana seyogyanya mengatur batas minimal kawasan hutan kota yang dapat dijadikan pegangan, hingga belum dapat diusulkan oleh Hulman (1978).

Dalam upaya mencari perumusan serta menyusun batasan yang dapat diterima tentang program hutan kota (urban forestry) dan hutan kota (urban forest) untuk Indonesia, khususnya bagi DKI Jakarta yang telah mengawali sejak tahun 1980-an, di bawah ini dicoba disusun hasil-hasil penelusuran dari pengertian-pengertian dan konsep-konsep yang telah diuraikan dari Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa sebagai berikut:

a. Hutan kota seyogyanya harus dapat dinikmati oleh masyarakat perkotaan, sehingga pemanfaatannya harus terbuka bagi umum;

b. Lokasi hutan kota seyogyanya dapat ditempuh dengan jalan kaki dari pusat-pusat pemukiman padat kota;

c. Dalam keadaan-keadaan sudah terbuka jaringan transportasi umum, lokasi hutan kota dapat dihitung dengan ukuran sama dengan cara sebelumnya (jarak tempuh jalan kaki) dari titik-titik akhir (terminal), halte pemberhentian transportasi umum, sehingga hutan kota tidak perlu lokasinya memperhatikan batas-batas wilayah administrasi kota;

d. Hutan kota dikelola berdasarkan azas kekekalan hasil untuk tujuan manfaat serbaguna, sehingga harus merupakan tegakan hutan dengan kawasan minimal yang dapat memenuhi azas kelestarian dan tujuan serbaguna kehutanan tersebut.

Seperti juga keadaan di dunia pada umumnya yang belum dapat mencapai kesepakatan tentang batas minimal kawasan hutan kota, uraian di atas dapat disarikan aplikasinya di Indonesia. Akan tetapi sebenarnya uraian di atas telah memberikan semacam kunci pemecahan yang dapat dimanfaatkan, yaitu ketentuan harus dipenuhinya azas kelestarian dan tujuan serbaguna kehutanan apabila suatu lahan vegetasi kayu akan ditetapkan sebagai suatu kawasan hutan kota.

Hal itu berarti bahwa kini ”azas kelestarian sumber” menjadi faktor pembatas dari ketentuan kawasan minimal yang harus dipenuhi, terutama yang menyangkut kelestarian tanah dan tata air yang merupakan bagian dari manfaat sosial hutan kota yang telah diungkapkan di muka (manfaat-manfaat fisiologik, sosial dan ekonomik). Secara lebih tajam kini diper-tanyakan berapakah sebenarnya luas minimal kawasan yang dicari itu agar kelestarian sumber untuk memenuhi manfaat-manfaat kesuburan tanah dan pengaturan tata air itu harus dipenuhi.

Untuk memecahkan pertanyaan tersebut tulisan ini menggunakan ketentuan yang digunakan oleh Society of Amerika Foresters (SAF) bahwa kawasan yang dimaksud sekurang-kurangnya luasnya harus di sekitar satu acre (0,40 hektar) yang apabila berbentuk jalur sekurang-kurangnya harus selebar 100 feet (30 meter) dengan catatan bahwa tegakan sekurang-kurangnya tertutup 10% (vegetation cover).

Sementara tidak terlampau susah memahami batas minimal kawasan hutan yang telah diungkapkan dari konsep SAF itu, mungkin masih akan timbul pertanyaan dengan pengertian minimum vegetation cover 10% sebagai ketentuan yang harus dipenuhi. Melalui keterkaitan antara keten-tuan vegetation cover dengan teori spacing (jarak tanam) dalam silvikultur, sebenarnya persyaratan itu sudah cukup dikenal oleh rimbawan. Satu hektar tanaman hutan yang ditanam dengan jarak tanam 10 x 10 meter kurang lebih akan mencapai vegetative cover 10%. Dengan perkataan lain lahan vegetasi kayu dengan jarak tanam yang lebih besar dari pada 10 x 10 meter tidak dapat disebut sebagai hutan kota. Dengan ungkapan terakhir tentang ketentuan jarak tanam minimal di atas, rasanya uraian dalam bab ini telah mendekati sasarannya, yaitu mengungkapkan konsep dan batasan-batasan program hutan kota (urban forestry) serta hutan kota (urban forest).

Dari perhitungan jarak taman dan vegetative cover 10% yang dianggap mendekati luas minimal hutan kota, akhirnya dalam Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1997, ditetapkan bahwa luas minimal hutan kota di Indonesia adalah 0,25 ha, dalam bentuk kawasan yang kompak sehingga tetumbuhan hutan kota yang dibangun mampu membentuk satuan ekologik terkecil.

Program hutan kota ialah rangkaian kegiatan-kegiatan khusus kehu-tanan yang memusatkan penanganannya kepada pengelolaan atas dasar azas kekekalan kawasan-kawasan hutan kota beserta segala aspek yang berkaitan guna kepentingan kesejahteraan penduduk kota sebesar-besarnya secara lestari. Termasuk di dalamnya adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan-kawasan hutan kota itu misalnya: program-program penyuluhan guna memasyarakatkan gagasan program hutan kota yang masih baru itu kepada masyarakat, program-program pendidikan dan latihan bagi tenaga-tenaga sendiri, dan juga bagi masyarakat luas agar mereka lebih menghayati gagasan hutan kota dan siap aktif dalam segala programnya.

Penelitian dan pengembangan untuk terus menggali dan mengem-bangkan pengetahuan-pengetahuan tentang hutan kota yang masih sangat banyak belum terungkap di Indonesia. Program-program kerja sama misalnya dengan pihak swasta agar bangkit kesadaran mereka untuk mau aktif terjun berpartisipasi untuk membangun serta membina hutan kota di dalam areal yang dikuasainya sendiri atau turut membiayai keperluan-keperluan untuk pengadaan, serta pembinaan hutan kota yang langsung akan membantu proyek-proyek hutan kota di sekitar lingkungannya dan atau bahkan di lokasi lain.

Potensi hutan kota bagi kesejahteraan penduduk kota sangat bervariasi dari manfaat-manfaat ekonomik yang tangibel seperti kayu, biji-buah, dan lain-lain pada ekstrim lain dengan manfaat-manfaat sosial di antaranya seperti kelestarian air, pencegah erosi, pencegah polusi dan lain-lain. Guna memelihara pengaliran tata air secara lestari kombinasi paling menguntungkan dari potensi serbaguna hutan kota, perlunya pengelolaan sumberdaya alam atas dasar azas kekekalan fungsi jasa dan produksi terbatas.

Dalam tulisan ini hutan kota diberi batasan sebagai kawasan vegetasi kayu yang luas serta jarak tanamnya di atas batas minimal yang ditetapkan, pemanfaatannya harus terbuka bagi umum serta lokasinya mudah terjang-kau oleh penduduk kota dari pusat-pusat pemukiman perkotaan padat. Luas serta jarak tanam minimal kawasan hutan kota dibatasi oleh persyaratan teknis untuk memenuhi tuntutan manfaat-manfaat sosial yang dapat diterima, yaitu guna memenuhi persyaratan minimal kawasan untuk dapat memenuhi fungsi perlindungan dan regulatifnya seperti kelestarian tanah dan tata air, ameliorasi iklim, menangkal polusi udara dan lain-lain.

Persyaratan hutan kota terbuka bagi umum menuntut manajemen secara rasional, baik terhadap sumberdaya alam milik negara maupun dikuasai oleh pihak swasta. Akhirnya persyaratan lokasi menggaris-bawahi bahwa gagasan program hutan kota menginginkan untuk tidak terlampau kaku mengikuti ketentuan batas-batas wilayah administrasi. Asal mudah terjangkau hendaknya tidak menjadi masalah di manapun lokasinya hutan kota, dan untuk kepentingan penduduk kota manapun juga.

Sebenarnya ketentuan terakhir itu merupakan peluang yang baik sekali untuk dapat berkembangnya kerjasama antar daerah (propinsi, kabupaten, dan kota) untuk bersama-sama mengusahakan kesejahteraan penduduk perkotaan melalui kenyamanan lingkungan.


BAB II

POTENSI HUTAN KOTA


Melalui pengelolaan rasional yang tepat, hutan kota akan mampu mengalirkan sangat banyak produk serta jasa-jasanya secara lestari kepada masyarakat, potensi tersebut dikenal sebagai manfaat serbaguna. Untuk memudahkan pemahaman, manfaat serbaguna yang dimaksud dikategori-kan ke dalam 4 kelompok yaitu:

a. Memperbaiki kondisi lingkungan yang diakibatkan oleh faktor-faktor iklim (climate amelioration);

b. Kegunaan dalam bermacam-macam keperluan rekayasa (engineering uses);

c. Kegunaan-kegunaan untuk keperluan arsitektural (architectural uses);

d. Kegunaan untuk keperluan-keperluan estetika (esthetical uses).

Penjelasan lebih jauh dari keempat kelompok manfaat serba guna di atas terurai seperti di bawah ini.

2.1. Ameliorasi Iklim

Elemen-elemen pokok iklim ialah penyinaran matahari, suhu udara, aliran udara, dan kelembaban. Tergantung ruang dari kondisi serta aktivitasnya (umur, seks, bekerja, atau kegiatan lain, kaya atau miskin, selera dan lain-lain). Manfaat kemajuan dari suatu teknologi, seseorang dapat mengatur kondisi lingkungan nyaman yang dikehendakinya dalam suatu ruangan tertutup, dengan menggunakan AC (air conditioner).

Pendekatan lingkungan nyaman juga dapat diusahakan di udara bebas oleh hutan kota dengan mengatur suhu, cahaya, kelembaban dan gerakan udara alam seperti akan ditinjau di bawah.

2.1.1. Modifikasi Suhu

Pepohonan, semak, dan rerumputan menyerasikan sinar matahari di lingkungan perkotaan. Daun-daun pepohonan menahan, memantulkan, menyerap serta memancarkan kembali sinar matahari itu yang efektivi-tasnya tergantung bermacam-macam faktor seperti bentuk daun, kepadatan daun atau pola percabangan. Ameliorasi suhu udara perkotaan oleh pepo-honan serta vegetasi lainnya itu berlangsung melalui proses evapotrans-pirasi.

Sebuah pohon yang tumbuh menyendiri dapat menguapkan sampai 400 liter air sehari apabila cukup pula terdapat air tanah. Jumlah itu setara saja dengan 5 buah unit pendingin (air conditioner) berkapasitas umum 2500 kcal/jam selama 20 jam sehari. Pada saat-saat suhu udara mendingin, biasanya pada keadaan udara terang tak berawan di malam hari dimana terjadi pertukaran sinar infra merah antara atmosfir dan bidang-bidang permukaan kota, pepohonan berperan sebagai tirai menahan udara dingin dari luar dan mempertahankan udara hangat yang diperoleh sebelumnya, hingga suhu udara di bawah pepohonan tetap nyaman. Perbedaan suhu yang diakibatkan oleh keadaan itu dapat mencapai antara 5 oC dan 6oC.

Wilayah perkotaan dapat bertemperatur 0,5oC sampai 1,5oC lebih tinggi dari pada wilayah sekelilingnya. Perbedaan itu terutama disebabkan karena kurangnya vegetasi di kota yang berperan sebagai absorban radiasi matahari serta akibat proses evapotranspirasinya, karena proses itu memer-lukan panas sehingga menurunkan suhu lingkungannya.

Selain itu bidang-bidang permukaan di kota yang lebih banyak berupa aspal, plesteran, besi, gelas, atap-atap seng, dan lain-lain, semuanya cepat menyerap panas tetapi cepat pula melepaskan kembali dibandingkan dengan vegetasi, sehingga mengakibatkan perbedaan-perbedaan suhu udara di kota dan sekitarnya. Perlu ditambahkan pula kiranya bahwa proses peningkatan suhu udara akan selalu sangat sedikit diimbangi dengan penu-runan kelembaban udara.

2.1.2. Pelindung Terhadap Angin

Pepohonan dan semak mengatur angin dengan merintanginya, mem-belokkannya, menyalurkannya dan menyaringnya. Pengaruh serta kadar pengatur itu bervariasi menurut jenis, ukuran, bentuk, ketahanan dan serta kepadatan daun, dan penempatan vegetasi.

Untuk merintangi angin, maka pohon ditempatkan pada arah angin sehingga arah angin tercegah, pohon-pohon rapat dikombinasikan dengan penghalang jenis lainnya dapat mengurangi kecepatan angin sampai 75-85%. Dengan cara demikian pohon juga dapat membantu mempertahankan kehangatan suatu ruangan. Sebaliknya juga mencegah angin memasuki ruangan. Akan tetapi penempatan tetumbuhan harus hati-hati, karena sering menghalangi masuknya udara segar yang diperlukan.

Membelokkan angin sudah merupakan topik yang cukup lama dilaksanakan dan terus dipelajari untuk kesempurnaan, yaitu yang dikenal dalam sistem penangkal angin (wind break). Berkat panangkal angin yang baik, angin dapat membelok sejauh dua sampai lima kali jarak ukuran pohon tertinggi tegak lurus ke atas atau ke samping dan di sebelah bela-kang pohon zona aman, hingga mencapai 30 sampai 40 kali jarak pohon tertinggi. Pada zona tersebut kecepatan angin turun bisa berkurang sampai 50%. Kadar kemampuan proteksi sesungguhnya tergantung dari tinggi pohon sebagai penangkal angin, lebar tajuk, kerapatan daun yang erat kaitannya dengan kadar tembus angin, penempatan atau susunannya dan jenis vegetasinya.

Jadi pohon dapat mengurangi kecepatan gerakan udara dan angin sehingga menciptakan zona pelindung pada jurusan arah angin (windward) dan belakang angin (leeward). Pepohonan dapat menjadi pelindung efektif pada jalan-jalan dan jalan-jalan raya.

2.1.3. Curah Hujan dan Kelembaban

Pepohonan menahan dan menyaring sinar matahari, menjinakkan arus angin, menguapkan air dan mengurangi penguapan air tanah. Dengan demikian di bawah tajuk hutan, kelembaban tinggi dan evaporasi lebih rendah. Pada siang hari temperaturnya juga lebih rendah dari di sekitarnya dan sebaliknya pada malam hari lebih tinggi.

Disamping pengaruhnya kepada kondisi suhu dan kelembaban, peranan pepohonan dan semak sangat penting dalam siklus hidrolik. Pohon menahan butir-butir hujan sehingga mengurangi kekuatannya menghempas butir-butir tanah. Dengan demikian adanya daya infiltrasi tanah meningkat, aliran permukaan berkurang dan begitu juga laju erosi dihambat.

Kemampuan mengendalikan aliran permukaan dan infiltrasi diten-tukan oleh faktor-faktor tipe tanah, kandungan bahan organik tanah, tipe dan intensitas hujan, serta komposisi vegetasi. Pengendalian faktor-faktor di atas perlu secara cermat perlu diperhatikan, karena bagi tajuk pepohonan yang banyak menguapkan air, akan dapat menyebabkan pengaruh negatif pada tempat-tempat kritis air.

Daya intersepsi jenis-jenis konifer ternyata lebih baik dari pada daun lebar yaitu 40% terhadap 20%, disebabkan karena struktur daunnya. Di-samping daun jarum, struktur daun Vitex pubesens memiliki daya inter-sepsi tinggi, begitu juga dengan sistem percabangan yang horisontal memiliki kemampuan lebih tinggi terhadap intersepsi, demikian halnya bagi kulit batang yang kasar, menunjukkan lebih baik dibandingkan dengan berbagai macam kulit batang yang lebih halus. Intensitas hujan yang tinggi, dan curah hujan berkepanjangan merupakan faktor-faktor melemahkan kemampuan tumbuhan terhadap fungsi jasanya, akan tetapi diimbangi oleh faktor-faktor plus lainnya seperti tajuk semak, penutup tanah, serasah, dan bentuk medannya (topografi).

2.2. Kegunaan Rekayasa

Dengan gemilang Robinette (1972) telah mengikhtisarkan keunggu-lan sifat-sifat vegetasi dalam membantu disiplin baru yang berkembang pesat pada akhir-akhir ini, ialah rekayasa lingkungan, sifat-sifat yang di-maksud ialah:

1. Dedaunan berair (fleshy) memiliki kemampuan meredam suara;

2. Cabang-cabang yang bergerak dan bergetar, menyerap dan menye-lubungi suara;

3. Sifat-sifat daun pubesens menjebak dan menahan butir-butir debu;

4. Pertukaran gas-gas melalui stomata dedaunan;

5. Pembungaan dan proses pembentukan daun yang mengeluarkan bau harum untuk menyelubungi bau busuk;

6. Dedaunan dan cabang-cabang untuk menghambat angin;

7. Dedaunan dan cabang-cabang untuk menghambat curah hujan;

8. Penyebaran akar untuk mengikat tanah untuk mencegah erosi;

9. Dedaunan padat untuk menghadang cahaya;

10. Dedaunan jarang untuk menyaring cahaya;

11. Cabang-cabang pelilit dan berduri untuk menghalangi gerakan manusia yang sering usil.

Setapak demi setapak perkembangan rekayasa lingkungan telah melampaui kesibukan-kesibukan arsitektur lansekap yang telah lebih dulu berkembang menggarap permasalah lingkungan seperti pengendalian erosi tanah, polusi udara, penangkalan kebisingan (noisy abatement), denaturant air limbah, pengawasan lalu lintas dan mengatasi reflekasi cahaya dan kesilauan. Secara singkat dan dalam garis besarnya topik-topik di atas akan ditinjau satu per satu di bawah ini.

2.2.1. Pengendalian Erosi

Makin hari makin diinsyafi bahwa peranan vegetasi kayu semakin menjadi vital dalam upaya memulihkan keseimbangan lingkungan akibat dikoyakkan oleh kegiatan-kegiatan konstruksi dalam rangka pembangunan fisik daerah perkotaan.

Kegiatan-kegiatan konstruksi itu secara mendadak membuka permu-kaan-permukaan tanah yang terpengaruh langsung oleh radiasi sinar matahari, dan hempasan butir-butir jatuhan hujan hingga temperatur tiba-tiba naik, daya infiltrasinya menjadi berkurang, dan aliran permukaan menjadi lebih besar. Aktivitas konstruksi yang menambah padat tanah menambah besar peristiwa itu, sehingga erosi tidak terelakan. Tanpa disa-dari fenomena tersebut menyebabkan timpangnya keseimbangan daerah aliran perkotaan yang membawa akibat-akibat lebih jauh dan lebih lama.

Vegetasi kayu mampu mengurangi erosi tanah yang dibawa air hujan itu dengan menahan butiran air hujan, mengikat tanah melalui sistem perakarannya, meningkatkan absorpsi air hujan dan mengurangkan aliran permukaan.

Oleh karenannya kini vegetasi kayu beserta prakeik-praktek silvikul-turnya tidak terpisahkan lagi dalam setiap proyek konstruksi dengan pembuatan teras-teras, pengembalian kesuburan fisik dan kimia tanah, tanaman kontur, tanaman berbagai pepohonan dan semak-semakan dan sebagainya. Vegetasi alam yang melindungi daerah aliran mutlak diper-tahankan.

2.2.2. Pengendalian Air Limbah

Pemanfaatan vegetasi kayu dalam pengendalian air limbah telah juga menjadi lebih penting dalam sistem mutakhir di Amerika Serikat (walau-pun di Indonesia mungkin tidak baru) yang dikenal dengan land sewage-living-filter method.

Tampaknya ahli-ahli bangunan di negara superpower itu makin merasakan bahwa cara-cara pembuangan air dan kotoran limbah dengan menggunakan akhir pelepasan ke badan-badan perairan umum seperti sungai-sungai atau danau-danau yang sudah merupakan tradisi, tampaknya lebih banyak kerugiannya dari sistem baru. Apabila harus diikuti sampai sempurna sistem lama sangat mahal, sistem lama juga membawa akibat kualitas perairan umum yang menurun, sedangkan sistem baru memung-kinkan proses penggunaan kembali (recycling) sumber air yang telah dibuang. Tanah dan vegetasi merupakan filter biologik (living filter) sebagai komponen utama dalam sistem pembuangan air limbah darat yang semakin populer.

2.2.3. Penangkalan Kebisingan

Menurut Grey & Deneke (1978) peranan vegetasi dalam menangkal kebisingan (suara yang tak diingini) berlangsung melalui proses atenuasi (attenuation) yaitu mengurangi intensitas suara dan proses penyelubungan (masking) yaitu mengatasi suara tak diingini dengan suara yang menye-nangkan.

Efektivitas vegetasi kayu dalam proses-proses penangkalan itu ditentukan oleh sifat-sifat suara yang merupakan sumber kebisingan, kondisi iklim, dan faktor-faktor vegetasinya sendiri. Termasuk sifat-sifat suara ialah tipe, asal, tingkat desibel dan intensitas sumbernya, sedangkan kondisi iklim ialah arah dan kecepatan angin, temperatur dan kelembaban.

Proses atenuasi kebisingan oleh vegetasi kayu berlangsung melalui penyerapan (absorption), defleksi, refleksi dan refraksi. Bagian-bagian tanaman yang ringan dan fleksibel seperti daun-daunan, cabang-cabang dan ranting-ranting pepohonan dan semak-semakan menyerap gelombang-gelombang suara, dikatakan bahwa vegetasi yang efektif dalam proses absorpsi itu ialah yang berdaun tebal berair dengan petiole. Proses-proses defleksi dan refraksi terjadi oleh cabang-cabang dan ranting-ranting pepohonan yang lebih tebal. Menurut Embleton (1963) vegetasi hutan dapat mengatenuasikan suara sebesar 7 dB setiap jarak 30 meter pada tingkat frekuensi 1000 Cps (Cycle per second) atau di bawahnya.

Cook & Haverbeke dalam Grey & Deneke (1978) berdasarkan hasil-hal penelitian di University of Nebraska, menyarankan bahwa dalam upaya mengurangi kebisisngan oleh kendaraan-kendaraan di kota-kota dapat ditanam jalur-jalur pepohonan yang dikombinasikan dengan rerumputan sebagai layar kebisingan (noise screen) dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Lebar jalur pohon dan semak 6-18 meter ditanam 5-16 meter dari pusat lajur jalan paling pinggir;

b. Semak-semak setinggi 2-2,5 meter merupakan baris layar terdekat kepada lajur jalan diikuti barisan pohon-pohon setinggi 4,5-10 meter di belakangnya;

c. Untuk hasil optimal, penanaman semak-semak dan pohon-pohon itu harus lebih dekat kepada sumber suara dari pada kepada daerah yang di lindungi;

d. Gunakan sedapat mungkin pohon-pohon tinggi dengan dedaunan tebal dan distribusinya relatif vertikal dan seragam dan atau kombinasi dengan rerumputan, karena rerumputan mengimbangi permukaan beraspal, plesteran, dll;

e. Penanaman pohon-pohon hendaknya serapat mungkin agar dapat berfungsi sebagai penghalang (barrier) rapat dan kontinu;

f. Vegetasi hijau abadi (evergreen) agar diutamakan;

g. Panjang jalur sekurang-kurangnya harus dua kali jarak dari sumber suara kepada penerima.

2.2.4. Mengurangi Pencemaran Udara

Vegetasi kayu merupakan penangkal cukup efektif terhadap polutan-polutan udara, baik yang berupa gas maupun yang berupa butiran padat (particulates). Suatu studi tentang polusi gas ozon menunjukkan bahwa dalam suatu volume udara yang mengandung 150 ppm gas itu 90% gas tersebut telah diserap suatu tegakan hutan dalam waktu 8 jam.

Hasil penelitian mutahir di Sovyet Uni terhadap suatu jalur vegetasi kayu selebar 500 meter yang mengelilingi suatu kompleks pabrik telah menurunkan konsentrasi belerang dioksida dalam udaranya yang tercemar sebesar 70% dan konsentrasi nitrat oksida 67%. Memang telah diemui bahwa beberapa jenis pohon seperti Acersacharum dan Betula sp dapat dengan mudah mengabsorbir belerang dioksida, akan tetapi ternyata pula jenis-jenis itupun rusak karena gas itu. Suatu hasil penelitian di Delaware, Ohio telah pula berhasil menyususn suatu daftar jenis-jenis pohon yang peka, indiferen atau toleran terhadap berbagai jenis polutan udara, yaitu selain terhadap belerang dioksida, oksida nitrat, dan ozon, juga telah diteliti juga polutan-polutan gas hidrogen florida, hidrogen klorida, klor, uap air raska, peroksiacetil nitrat dan etilin. Akan tetapi polutan gas terpen-ting, yaitu karbon monoksida, belum lagi tuntas penelitiannya.

Vegetasi kayu mengurangi polutan-polutan udara butiran (pasir, debu, abu terbang, butir serbuk sari atau asap) padat melalui beberapa cara. Dedaunan, cabang-cabang, ranting-ranting dengan permukaan-permukaan-nya yang bersifat mendukung penangkalan seperti Vitex pubesens memiliki potensi dedaunan dalam menjebak butiran padat, yang kemudian tercuci oleh air hujan. Vegetasi kayu juga menjerap polutan-polutan butiran padat dengan pencucian udara (air washing). Proses transpirasi yang meningkat-kan kelembaban udara itu membantu menghalau polutan.

Berkat hasil-hasilnya yang sudah positip jasa-jasanya ialah absorpsi atau peyelubungan (masking) dari asap dan bau busuk oleh pepohonan. Bernatsky dalam Grey & Deneke (1978) memberikan panduan di bawah ini apabila vegetasi kayu akan digunakan menangkal polusi :

a. Penanaman pepohonan pada arah tegak lurus kepada arah angin;

b. Vegetasi yang relatif terbuka dan tembus harus dikombinasikan dengan tegakan penangkal yang padat;

c. Penanaman harus konsentris terhadap sumber polutan.

2.2.5. Pengendalian Silau Cahaya

Vegetasi kayu dapat menyaring dan memperlunak kesilauan seperti juga secara arsitektural diusahakan dengan kaca-kaca khusus (polarisasi dll), awning peneduh jendela dan lain-lain. Efektivitasnya tergantung dari tipe sumber kesilauan itu dan ukuran kepadatan dan penempatan vegetasi.

Ada dua tipe kesilauan, yaitu kesilauan primer yang dipancarkan secara langsung oleh sumbernya, dan sekunder yang telah dipantulkan oleh banyak sekali permukaan bercahaya seperti gelas, besi, aluminium, ples-teran atau air. Upaya penangkalan dilakukan dengan langsung menahan kesilauan dari sumbernya seperti tanda-tanda gedung dan papan iklan, lampu-lampu jalanan atau lampu-lampu dari kendaraan. Akan tetapi seringkali kesilauan primer didifusikan oleh partikel-partikel atmosfer sehingga sulit menemukan sumbernya mengakibatkan apa yang disebut “kekaburan yang cerah”. Vegetasi yang dipertimbangkan dengan cermat adalah kepadatan, tinggi pohon dan penempatannya secara seksama setelah sumber kesilauan itu diketahui benar.

2.3. Manfaat Arsitektural

Seperti juga bahan-bahan bangunan seperti kayu, batu-batuan mosaik, plesteran, besi dan lain-lain, pohon-pohon dan semak-semak merupakan juga elemen-elemen yang secara individual atau kolektif dapat memberikan fungsi-fungsi arsitektural seperti artikulasi ruang, menyekat, kebebasan pribadi (privacy), dan suasana menarik (enticement).

Memang sudah lama diketahui oleh para arsitek bahwa vegetasi kayu memiliki potensi-potensi arsitektural yang tidak terbatas dan sangat berharga. Setiap spesies memiliki ciri-cirinya sendiri yang khas seperti ukuran, bentuk, warna atau tekstur. Berkat potensi yang beragam itu, vegetasi kayu dapat dimanfaatkan individual atau dalam kelompok, sejenis ataupun tercampur sehingga menciptakan kesan-kesan yang tentunya akan berlainan disusun oleh arsitek-arsitek yang tidak sama. Karena vegetasi juga tumbuh maka variasi itu diperkaya bahkan bertambah lagi karena perubahan-perubahan musim. Vegetasi kayu hidup dan tumbuh, maka potensi-potensi fungsi arsitekturalnya bersifat dinamik.

2.4. Manfaat-manfaat lainnya

Manfaat-manfaat estetika merupakan potensi vegetasi kayu sudah diketahui oleh umat manusia sejak lama. Keindahan vegetasi kayu yang dikandungnya merupakan elemen-elemen estetika lingkungan hidup manu-sia. Keindahan vegetasi kayu yang didukung oleh potensi-potensi seperti garis-garis, bentuk-bentuk, warna-warna dan tekstur-tekstur mampu men-jadi bingkai panorama, memperhalus garis-garis arsitektural, memperkuat dan mendukung elemen-elemen arsitektural, memperkuat dan memper-satukan elemen-elemen divergen, menghasilkan pola-pola yang unik dan lain-lain.

Kekayaan potensi vegetasi kayu itu lalu juga ditambah karena potensi nilai-nilai akostiknya, kemampuan menghasilkan biji-bijian dan buah-buahan yang dapat dimanfaatkan, dapat menarik berbagai satwa terutama burung-burungan dan sifat-sifat dinamika karena pertumbuhan semuanya menjadi potensial arsitektural yang sangat berharga.

Masih sangat banyak manfaat-manfaat vegetasi kayu yang tidak sempat dibahas lebih jauh dalam bab ini seperti tempat bermain anak-anak sekolah, tempat-tempat rekreasi, kesegaran dan kesehatan bagi berbagai sarana vital seperti rumah-rumah sakit, sarana olahraga alam, hasil-hasil tak kentara (intangibel) seperti tata air dan sumber plasma nutfah dan masih banyak lagi. Apabila manfaat-manfaat terakhir itu tidak diungkap dan dibahas lebih jauh, sama sekali tidak berarti bahwa potensi-potensi itu tidak atau kurang kepentingannya dibandingkan dengan manfaat-manfaat yang telah dibahas dimuka.


BAB III

FUNGSI DAN NILAI HUTAN KOTA


3.1. Fungsi Hutan Kota

3.1.1. Keindahan dan Kesegaran

Ketika Pierre L’Enfant dalam Grey & Deneke (1978) tahun 1970-an mengimpor konsep-konsep organisasi fisik kota yang sedang sangat populer di Eropa dalam menciptakan suatu rancangan “sistem diagonal monumental” untuk Ibukota Amerika Serikat, Washington D.C., ia tidak lupa menggarisbawahi akan kemutlakan peranan vegetasi kayu sebagai komponen yang tidak mungkin ditinggalkan.

Pohon-pohon ceri Jepang (Prunus serrulata) hadiah pemerintah Jepang kepada rakyat Amerika seolah-olah telah mewujudkan impian Pierre itu. Pohon-pohon ceri itu berbunga manakjubkan setiap musim semi manambah cantik monumen-monumen yang berdiri tegap di belakang. Keindahan kota metropolitan kebanggaan bangsa Amerika itupun tidak mau berhenti sepanjang tahun berkat pepohonan yang menunjangnya. Dalam terik sinar matahari musim panas, pepohonan melindungi para pengunjung, karena dimana-mana terdapat pepohonan. Saat pepohonan itu merontokkan dedaunannya dalam musim gugur, panorama kota bahkan tampak lebih jelas sehingga kecantikannya masih tampak. Selama musim dingin, pepohonanpun dihinggapi guntaian-guntaian salju yang memperaya lagi aspek keindahan kota.

Kesadaran bahwa pepohonan mempunyai potensi keindahan yang vital telah lama dipraktekkan di banyak kota-kota lama seperti Paris atau Wina dan kota-kota yang baru dibangun seperti Jedah atau Brasilia ber-usaha keras membangun hutan-hutan kota untuk keindahannya. Sesung-guhnya bangsa Indonesia sudah lama menyadari akan keindahan yang dapat disumbangkan oleh pepohonan, sehingga setiap mereka mem-bangun rumah-rumahnya tidak lupa ditanam pepohonan di halaman-halamannya. Modal warisan leluhur bangsa itu dipadukan dengan penge-tahuan-pengetahuan dunia tentang potensi keindahan dari vegetasi kayu, hendaknya benar-benar dapat dimanfaatkan dalam program hutan kota.

3.1.2. Penangkal Angin dan Gangguan Alam Lainnya.

Badai angin, kondisi-kondisi udara ekstrim seperti hujan lebat, suhu udara terlalu tinggi dan lain-lainnya serta lingkungan udara yang tidak bersih marupakan gangguan-gangguan kepada lingkungan kehidupan nyaman manusia sehari-hari.

Pepohonan menangkal arus angin kencang, sistem percabangan dan dedaunannya merupakan perisai terhadap jatuhan hujan lebat, segenap kanopinya menciptakan kondisi suhu yang lebih serasi dibandingkan dengan lingkungan diluarnya, serta tajuknya menjadi filter yang ampuh terhadap berbagai kandungan bahan yang menjadikan udara kosong (impurities).

Maka pepohonan itu dalam ujud apapun dipersiapkan, pohon-pohon tunggal di halaman-halaman, barisan pohon sepanjang jalan, pohon-pohon taman ataupun hutan-hutan kota sangat berguna sebagai penangkal sumber-sumber gangguan alam kepada kenyamanan hidup penduduk di perkotaan.

Untuk kepentingan penangkal gangguan-gangguan alam, hutan-hutan kota diperlukan tidak hanya untuk lingkungan pemukiman, tetapi juga untuk lingkungan tempat-tempat bekerja seperti kantor-kantor atau pabrik-pabrik, bahkan juga di tempat-tempat umum seperti pasar atau terminal-terminal, bahkan di lingkungan kampus seperti di lingkungan kampus Universitas Indonesia Depok.

3.1.3. Penangkal Polusi

Walaupun sudah menjadi masalah dunia yang mempengaruhi daratan

sungai-sungai dan lautan, polusi udara, merupakan yang terpenting yang akan lebih disoroti disini karena pengaruhnya langsung kepada manusia adalah besar sekali. Lingkungan udara dinyatakan sudah tercemar apabila mengandung gas-gas melebihi ketentuan normal ditambah polutan-polutan yang tidak biasanya terdapat dalam udara bersih.

Dalam garis besarnya polutan-polutan itu dibedakan menjadi polutan-polutan gas dan polutan-polutan padatan, dimana di antara polutan-polutan gas yang terpenting ialah oksida-oksida nitrogen dan belerang yang pada akhir-akhir ini banyak dibahas telah mengakibatkan hujan-hujan asam (acid rain). Setelah kedua oksida itu teroksidasikan dan bersenyawa dengan air membentuk asam-asam nitrat dan sulfat.

Di antara polutan-polutan lainnya yang dipandang penting disamping kedua polutan gas tersebut, adalah karbon monoksida, hidrokarbon-hidrokarbon dan butir-butir padatan beracun. Hasil-hasil penelitian di negara-negara industri menunjukkan bahwa sumber polutan terpenting ialah transportasi (51%), rumah-rumah tangga (16%), Industri (14%), sisa-sisa pembakaran padat (4%) dan lain-lain (15%), contoh yang terakhir itu misalnya sisa-sisa pembakaran pertanian (perladangan). Pada akhir-akhir ini polutan-polutan hasil eksplorasi dan instalasi-instalasi nuklir telah tambah merisaukan pula.

Hasil pembakaran kendaraan bermotor terpenting yang menye-babkan polusi ialah monoksida karbon yang belum dapat ditemui penangkalnya. Hasil-hasil pembakaran lainnya adalah oksida nitrogen, timah hitam, hidrokarbon-hidrokarbon yang tak terbakar dan butir-butir padatan. Oksida nitrogen dengan cahaya membentuk pedut fotosintesa yang menyebabkan kematian 4.000 orang pada tahun 1952 di kota London dan kini tetap merupakan polutan yang dipandang berbahaya di Jepang dan Amerika Serikat. Hodrokarbon-hidrokarbon yang belum terbakar dan butir-butir padatan memasuki atmosfir dalam jumlah besar membentuk benda-benda mengkilat dan jelaga yang mengakibatkan permukaan-permu-kaan berminyak pada gedung-gedung dan pabrik-pabrik.

Pemukiman, perkantoran, industri dan praktis semua lingkungan per-kantoran memerlukan perlindungan terhadap polusi udara itu. Walaupun vegetasi dapat membantu penangkalan polusi udara itu, akan tetapi berlainan jenis pohon memberikan reaksi berbeda-beda kepada berlain-lainan macam polutan. Oleh karena itu pemilihan jenis untuk tujuan penangkalan polusi udara itu memerlukan studi yang sungguh-sungguh pada masa depan.

3.1.4. Kesehatan dan Olahraga

Iklim mikro yang nyaman serta udara sehat di bawah kanopi pepohonan, hutan kota dapat menjadi sarana aktif untuk berbagai upaya penyembuhan yang terutama sangat dibutuhkan di rumah-rumah sakit. Tempat-tempat pelayanan umum masyarakat vital seperti rumah-rumah sakit itu seyogyanya memiliki hutan-hutan kota.

Akan tetapi lingkungan udara sehat tidak hanya diperlukan oleh rumah-rumah sakit tetapi juga oleh sekolah-sekolah, kantor-kantor dan pemukiman. Lingkungan udara sehat juga merupakan potensi yang berharga untuk kegiatan-kegiatan olahraga alam. Rock Creek Park di kota Washington D.C. dan kota-kota besar lainnya di dunia telah memanfaatkan potensi demikian itu bagi sarana olahraga.

3.1.5. Rekreasi dan Wisata

Rekreasi telah menjadi bagian penting dalam kehidupan modern pada saat sekarang, terutama bagi penduduk kota, para pekerja pabrik yang setiap hari menghadapi macam serta irama pekerjaan yang berulang, para pegawai yang terus menerus menghadapi pekerjaan meja seperti tidak akan ada akhirnya, ibu-ibu rumah tangga yang merasa bosan menghadapi tugas-tuigasnya yang itu-itu juga setiap harinya, bahkan para mahasiswa dan palajar merasa lelah dengan pelajaran-pelajaran dan pekerjaan-pekerjaan rumahnya, semuanya merasakan sekali kebutuhannya akan selingan untuk menyegarkan kembali sikap mentalnya agar semangat serta daya juangnya diperbaharui.

Kebutuhan-kebutuhan rekreasi yang dirasakan oleh penduduk kota itu telah berubah menjadi permintaan-permintaan akan fasilitas-fasilitas wisata yang terus menerus meningkat di perkotaan, dan wisata alam terbuka merupakan sasarannya yang paling populer.

Sumber-sumber hutan kota akan memiliki potensi yang sangat banyak dan beragam untuk memenuhi wisata alam yang bertambah terus di perkotaan itu. Di antara potensi-potensi itu misalnya penelusuran, lintas alam, olah raga, piknik, memancing dan berperahu dan lain-lain akan dapat digali dan dipersiapkan dari sumber-sumber hutan kota.

3.1.6. Kelestarian tanah dan tata air

Upaya meningkatkan daya serap tanah terhadap kelebihan air hujan dan air limbah serta mengaturannya kembali pada musim kemarau, cadangan-cadangan kawasan lindung mutlak diadakan di perkotaan secara proporsional. Daerah-daerah aliran kota sepanjang sungai dengan demikian harus dijadikan hutan kota untuk memenuhi fungsi itu.

Sekali lagi Rock Creek Park di kota Washington D.C. ditampilkan sebagai teladan di sini dalam fungsi konservasi kota itu. Sekurang-kurangnya 300 meter di sebelah kiri dan kanan Rock Creek telah dijadikan jalur hijau yang membelah dua kota metropolitan itu sejak sungai Potomac ke Utara jauh memasuki wilayah pinggiran (suburb) dalam negara bagian Maryland.

Jalur hijau itu lalu telah menjadi sangtuari bagi satwa burung dan bermacam-macam satwa lainnya yang dari situ menyebar ke seluruh kota. Jalan mobil satu arah dibangun pula sepanjang sungai itu yang menjadi arteri bagi jalan-jalan kota yang sering macet. Di banyak tempat sebagian lahan disisihkan sebagai wadah kendali limbah kota dan di sana sini dibangun tempat rekreasi alam terbuka. Seluruh jalur hijau disediakan untuk berbagai fasilitas wisata dan olahraga. Pendek kata jalur hijau itu disamping fungsi pokoknya sebagai sarana konservasi telah berkembang menjadi sumber serbaguna. Keperluan hutan kota untuk wadah konservasi bukan lagi merupakan kemewahan, tetapi benar-benar menjadi keperluan pokok bagi penduduk kota.

3.1.7. Sangtuari Satwa

Sebuah kota tanpa satwa sama saja dengan gurun pasir tanpa pohon yang gersang atau sebuah rumah tanpa bunga, hingga sangat sepi. Bermacam-macam satwa, terutama burung-burungan, adalah komponen vital untuk semarak dan keindahan kota. Untuk berlindung beragam satwa itulah juga hutan kota perlu dibangun dan direncanakan pengadaannya dengan jenis-jenis yang cukup menyediakan berbagai biji-bijian dan buah-buahan yang diperlukan satwa. Penangkaran (stocking) berbagai jenis satwa perlu mengawali program sangtuari itu kalau akan dijalankan dan apabila di tempat hutan kota itu tidak ada satwa liar yang akan menghuni hutan kota itu.

Program sangtuari satwa bukan sekedar merupakan upaya dalam rangka pembangunan hutan kota yang indah dan semarak, akan tetapi juga berarti partisipasi serta sumbangan positif kepada program dunia dalam konservasi satwa serta konservasi sumber plasma nutfah hewani. Dengan begitu program sangtuari satwa merupakan bagian dari program konservasi dunia yang tidak boleh diabaikan untuk masa depan umat manusia.

3.1.8. Kendali Limbah

Di muka telah ditampilkan pengalaman kota Washington D.C. yang memanfaatkan jalur hijau sebagai wadah pengendali limbah air hujan dan air kotor yang senantiasa merupakan masalah menonjol di perkotaan. Akan tetapi untuk kepentingan wadah pengendali limbah, tidak hanya sumber hutan-hutan kota konservasi yang dapat dimanfaatkan tetapi juga potensi hutan-hutan kota lainnya, seperti hutan-hutan kota pemukiman, wisata atau industri, asal direncanakan dan diatur dengan cermat dan setepat-tepatnya.

Dalam hubungan ini di banyak kota di dunia telah banyak melaksanakan sistem land-sewage living filter yang menjadikan sumber hutan kota sebagai bio-filter, sehingga terjadi proses recycling limbah perkotaan untuk dimanfaatkan kembali hasil-hasilnya.

3.1.9. Produksi terbatas

Produksi terbatas yang dimaksudkan disini ialah hasil-hasil hutan kota yang dapat dialirkan secara terbatas sebagai salah satu produk sasmpingan dari hasil dikelolanya untuk memenuhi serbaguna hutan kota. Pertumbuhan vegetasinya yang cepat, secara silvikultur hutan-hutan kota perlu dipelihara antara lain dengan perlakuan-perlakuan penjarangan yang akan menghasilkan kayu, dengan berbagai hasil ikutannya. Hasil-hasil itu seperti kayu perkakas, kayu bakar, bunga-bungaan, buah-buahan, biji-bijian merupakan produksi terbatas yang bukan menjadi hasil pokok tetapi hasil sampingan dari syarat pemeliharaan silvikultur sebagai unit serba guna.

Produksi pupuk serta hasil-hasil sampingan lainnya seperti telah disinggung terdahulu juga merupakan produksi terbatas hutan kota. Haruslah digarisbawahi bahwa potensi hasil-hasil langsung di sini tidak merupakan usaha pokok, tetapi usaha komplimenter terhadap fungsi dan peranan hutan kota lainnya yang lebih penting. Akan tetapi oleh karena hasil-hasil itu dimanfaatkan, maka perlu dikelola secara rasional menurut azas kekekalan yang berlaku.

3.1.10. Sarana Pendidikan dan Penyuluhan

Hadirnya hutan-hutan kota di dekat pusat-pusat pemukiman merupa-kan kesempatan sangat baik, baik berbagai upaya penyuluhan serta pendi-dikan bagi masyarakat termasuk dunia sekolah. Program semacam itu tidak dimaksudkan hanya untuk pengetahuan hutan kota, tetapi akan terbuka pula untuk bermacam-macam tujuan pendidikan yang lebih luas seperti yang langsung ada hubungannya dengan kurikulum-kurikulum sekolah.

Hutan-hutan kota dengan demikian merupakan sarana yang sangat bermanfaat untuk menyebarluaskan gagasan program hutan kota. Dalam pada itu hutan-hutan kota itu juga dapat menjadi sarana yang membantu program-program pendidikan dan penerangan umum kepada masyarakat.

3.2. Nilai Hutan Kota

3.2.1. Nilai Tangibel

Bahwa untuk pengadaan hutan kota diperlukan biaya merupakan kenyataan pertama yang termudah untuk meyakinkan bahwa hutan-hutan kota secara tangibel mempunyai nilai. Biaya pengadaan itu dimulai dari ongkos yang deperlukan untuk benih, melalui pesemaian sendiri atau dibeli dari pihak lain, lalu akan diperlukan ongkos-ongkos untuk pengangkutan benih-benih itu ke lapangan, untuk menanamnya, memeliharanya dan seterusnya. Biaya-biaya langsung (tidak termasuk nilai lahannya) untuk penanaman dan memeliharanya sampai akhir daur diperkirakan 14% untuk menanam, 14% pemeliharan sampai tahun ketiga (merumput, mendangir, memupuk dan lain-lain), 32% untuk pemangkasan, 8% penjagaan dan 32% penebangan, sedangkan dikatakan biaya pesemaian telah banyak dihemat dari 24% sebelumnya, kini hanya sampai 15% dari keseluruhan biaya pengadaan yang disebutkan terdahulu.

Dengan jalan pikiran yang baru saja diungkapkan, nilai tangibel hutan kota dapat pula diperkirakan dengan mengkaitkannya dengan anggaran biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan hutan kota seperti juga proyek-proyek pembangunan kota lainnya. Apabila lalu anggaran biaya yang ditanam itu dipandang sebagai modal kekayaan kota dapat lalu diberi ganjaran bunga sehingga nilainya bertambah.

Pendekatan lain yang kiranya dapat dipertimbangkan dalam menaksir nilai hutan-hutan kota ialah potensi hasil-hasil yang dapat diharapkan dari suatu sumber daya hutan kota. Hasil-hasil langsung itu misalnya kayu bakar, kayu perkakas, biji-bijaan, buah-buahan dan lain-lain termasuk juga berbagai jasanya seperti rekreasi, wisata pancing, wisata olah raga dan sebagainya. Akan tetapi pada dasarnya tujuan pengelolaan hutan kota bukan untuk produksi hasil-hasil langsung itu, sehingga dapat diantisipasi-kan nilainya akan di bawah harapan. Maksud terpenting dari ungkapan-ungkapan di atas ialah untuk menggaris-bawahi bahwa kiranya wajar apabila kepada potensi-potensi hutan kota dipikirkan perlunya diberikan harga yang sepadan. Langkah seperti itu diperlukan apabila hutan-hutan kota ingin dibawa ke tahap pengelolaannya secara rasional di masa depan. Beberapa contohnya dalam hubungan itu yang sering dialami misalnya ialah guna menaksir kerugian-kerugian diakibatkan kerusakan alam seperti angin atau kebakaran ataupun karena kerusakan-kerusakan akibat tangan-tangan jahil yang akan diselesaikan di muka pengadilan.

3.2.2. Nilai Tak Tangibel

Tidak semua, bahkan mungkin sebagian besar, manfaat-manfaat hutan kota itu bersifat tangibel sebagai diungkapkan di muka. Manfaat-manfaat potensi hutan-hutan kota seperti keindahan, kesegaran, kesehatan, olahraga, sangtuari satwa, konservasi sumber daya hayati, dan banyak manfaat-manfaat lainnya seolah-olah sifatnya tak tangibel untuk dinilai. Akan tetapi banyak ahli-ahli ekonomi yang tekun pada akhir-akhir ini telah mencoba menaksirnya secara kuantitatif. Ahli-ahli ekonomi itu misalnya menghubungkan manfaat-manfaat kesegaran dan kesehatan kepada prestasi kerja yang kemudian dinilai dengan uang, manfaat-manfaat keindahan dan olahraga kepada jumlah pengunjung wisata yang juga bernilai uang, manfaat-manfaat konservasi daerah aliran kepada biaya-biaya kerusakan yang dapat diakibatkan oleh banjir dan sebagainya, akan tetapi para ahli itu pun belum dapat dengan sempurna menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara pendekatan itu.

Manfaat-manfaat tak tangibel memang merupakan potensi hutan-hutan kota yang tidak boleh diabaikan, tetapi senantiasa menimbulkan masalah dalam penilaiannya karena kesulitannya untuk menaksirnya. Namun boleh dikatakan bahwa tidak ada yang berbeda pendapat bahwa nilai-nilai itu selalu terkandung dalam setiap potensi hutan kota sejauh manapun nilai tangibel dari potensinya telah berhasil didekati. Hal itu berarti bahwa nilai-nilai tak tangibel itu, sesungguhnya dari hutan-hutan kota yang harus selalu lebih tinggi dari nilai tangibel yang berhasil didekati penaksirannya.

3.2.3. Nilai Idiil Hutan Kota

Bangsa Indonesia tidak pernah mengabaikan aspek-aspek indiil setiap saat ia meninjau dan menelaah sesuatu masalah. Begitu juga dengan konsep serta batasannya dari program hutan kota yang menjadi topik utama uraian tulisan ini, ternyata telah sepenuhnya meliput aspek-aspek indiil itu sesuai dengan apa yang tersirat dalam berbagai landasan yang syah. Pertanyaan kini sejauh mana segi-segi indiil itu telah pula turut dicakup dalam penilaian hutan kota sebagai yang baru saja dibahas di muka itu. Manfaat-manfaat tak tangibel dalam nilai hutan kota pada hakikatnya berarti bahwa segi-segi indiil telah jauh menerobos ke dalam perkiraan-perkiraan nilai hutan kota itu, sehingga diakui bahwa nilai-nilai hutan kota tidak dapat didasarkan sepenuhnya dari manfaat ekonominya yang langsung semata-mata.

Pengakuan demikian telah meletakkan tanggung jawab moral di atas pundak pemerintah yang tidak boleh membiarkan program hutan kota terlantar melainkan harus senantiasa aktif menanganinya termasuk upaya-upaya menggalang sumberdaya dan dananya. Lebih jauh landasan-landasan indiil itu menggarisbawahi bahwa hutan kota sebagai sumber daya alam hayati harus bermanfaat bagi masyarakat seluas-luasnya, jadi tidak sekedar hanya bagi penduduk kota semata-mata. Amanat demikian hanya memperkuat kembali peranan moral pemerintah yang lebih luas lagi untuk suksesnya program hutan kota.


BAB IV

KRITERIA HUTAN KOTA


Maksud dari uraian kriteria hutan kota ini ialah pertama-tama untuk memberi batasan ciri-ciri vegetasi kayu, yang merupakan ujud pokok hutan kota yang harus dipenuhi untuk dapat disebut sebagai hutan kota. Tujuan lebih lanjut dari tinjauan kriteria-kriteria hutan kota ialah menguraikan lebih jauh lagi dari ciri-ciri itu dihubungkan dengan berbagai fungsi dan syarat-syarat pengelolaannya.

4.1. Kriteria Peranan Hutan Kota

Peranan apa yang akan dilimpahkan kepada suatu kawasan hutan kota merupakan kriteria pertama yang harus ditentukan. Hal itu dihubung-kan dengan potensi ekonomi kawasan itu sehingga memudahkan dalam pertimbangan pembebanan biaya-biaya pengelolaannya.

Sesuai dengan batasan hutan kota, pada dasarnya manfaat-manfaat potensi hutan kota, terutama diarahkan bagi kesejahteraan masyarakat perkotaan. Hal itu berarti bahwa penduduk kota tidak bisa mengelakan diri dari program hutan kota, sehingga harus siap pula turut memikul beban-beban pembiayaan pengelolaan hutan-hutan kota, apabila ternyata potensi ekonomi langsungnya tidak mampu menciptakan sumber-sumber dananya sendiri.

Dihubungkan dengan berbagai fungsinya, peranan suatu areal hutan kota harus ditetapkan terlebih dahulu apakah akan merupakan kawasan lindung, hutan pemukiman dan atau fungsi-fungsi lainnya. Penetapan peranan suatu kawasan hutan kota dihubungkan dengan fungsinya itu sangat perlu sebagai pedoman pokok dalam menyusun kebijaksanaan-kebijaksanaan serta rencana pengelolaannya termasuk pembebanan biaya serta sumber-sumbernya.

4.2. Kriterian Lokasi dan Penyebaran Hutan Kota

Kreteria lokasi hutan kota pertama-tama didasarkan kepada batasan-nya sebagai telah diuraikan dalam Bab 2. Kreteria selanjutnya dihubung-kan dengan peranan yang dibebankan kepada suatu kawasan hutan kota sebagai yang baru saja diungkapkan.

Lokasi untuk potensi-potensi hutan kota yang disediakan untuk memenuhi keperluan manfaat wisata disarankan agar tidak melebihi jarak jangkau sepadan dari tempat-tempat pemukiman padat penduduk perko-taan dan atau jarak yang sama dari titik-titik akhir fasilitas transportasi umum dari tempat-tempat pemukiman yang dimaksud.

Akibat jarak jangkau sepadan yang disarankan itu, maka lokasi hutan-hutan kota penyebarannya tidak lagi perlu menghiraukan batas-batas administrasi wilayah perkotaan. Potensi-potensi vegetasi tetap yang meme-nuhi saran jarak jangkau sepadan itu yang kebetulan terletak di luar batas administrasi kota dapat dipandang sebagai hutan kota.

Lokasi hutan-hutan kota dihubungkan dengan fungsi pokoknya ter-gantung dari peranan-peranan yang dibebankan kepada masing-masing. Hutan-hutan kota untuk tujuan konservasi, hutan-hutan kota untuk mencip-takan kesegaran-keindahan serta melindungi pemukiman-pemukiman dari berbagai gangguan serta hutan-hutan kota industri untuk menangkal polu-tan-polutan pabrik menuntut persyaratan-persyaratan lokasi tersendiri yang akan dibahas lagi di bagian lain.

4.3. Kriteria Luas Kawasan Minimal

Guna memenuhi persyaratan minimal program pengelolaan rasional hutan kota, diperlukan ketetapan batas minimal luas kawasan termasuk syarat minimal penutupannya (cover) yang diproyeksikan kepada jarak tanam yang diikuti.

Memanfaatkan hasil-hasil penelusuran terdahulu, ketentuan-keten-tuan minimal itu di sini disarankan 0,5 hektar untuk kawasan utuh dan atau 50 meter untuk kawasan membentuk jalur penangkal, sehingga apabila penangkalan itu terhadap suatu aliran sungai, jarak 50 meter itu dihitung dari kedua tepi aliran, sehingga keseluruhannya menjadi 100 meter. Selanjutnya termasuk kedalam kriteria itu ialah penutup vegetasi (cover) yang sekurang-kurangnya sebanyak 10% atau apabila dinyatakan dalam jarak tanam tidak melebihi 10x10 meter. Hal itu berarti bahwa suatu vegetasi kayu yang luasnya kurang dari 0,5 hektar dan atau dalam jalur kurang dari 50 meter dengan jarak tanam lebih besar dari 10x10 meter tidak dapat dikatakan sebagai hutan kota.

Perlu kiranya digarisbawahi di sini bahwa kreteria luas kawasan minimal diatas merupakan ketentuan terkecil untuk memenuhi persyaratan pengelolaan rasional. Tergantung dari peran fungsi suatu kawasan hutan kota serta kondisi dan situasinya, luas kawasaan itu besarnya mungkin dapat lebih besar. Akan tetapi karena saran ketetapan yang diajukan di sini didasarkan kepada suatu ketentuan yang dianut di Amerika, yang tentunya didasarkan pula oleh kondisi situasi di sana, dirasakan sekali keperluanya penelitian-penelitian khusus untuk Indonesia agar lebih dapat mendekati kenyataan, walaupun telah ditetapkan luas minimalnya. Akan tetapi yang rasional suatu hutan kota seyogianya memenuhi persyaratan tanaman rapat, terdiri atas dari berbagai jenis tetumbuhan yang memiliki per-akaran dalam, dan membentuk strata tajuk, serta memiliki tumbuhan bawah.

4.4. Kriteria Jenis Vegetasi

Berlainan jenis vegetasi memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dalam memberikan jasa-jasan hutan-hutan kota untuk memenuhi fungsi-fungsinya. Komunitas tumbuhan tertentu misalnya sangat peka terhadap polutan tertentu, tetapi jenis tersebut dapat toleran terhadap macam polutan lainnya. Di lain hal jenis flora lainnya mungkin toleran terhadap macam polutan pertama walaupun jenis tersebut juga ternyata toleran terhadap macam polutan yang kedua.

Sejenis flora misalnya memiliki potensi nilai-nilai estetika yang sangat besar gunanya menunjang hutan kota memenuhi fungsi keindahan, akan tetapi mungkin jenis itu sangat peka terhadap berbagai gangguan alam seperti angin ataupun kurang menyumbangkan iklim mikro untuk keperluan kesegaran atau kesehatan.

Jelaslah bahwa pemilihan serta penggunaan jenis-jenis flora yang setepat-tepatnya untuk menunjang hutan-hutan kota adalah benar-benar vital. Akan tetapi pada saat ini boleh dikatakan bahwa pengetahuan tentang jenis-jenis flora Indonesia guna menunjang peran hutan-hutan kota yang mampu memenuhi fungsi-fungsinya sama sekali belum tersedia secara akurat. Oleh karena itu langkah-langkah penelitian jenis-jenis flora dalam rangka program hutan kota merupakan keperluan yang sangat mendesask.

4.5. Kriteria Susunan Desain Hutan Kota

Desain dan susunan hutan kota merupakan kreteria lainya dari hutan-hutan kota yang perlu dipenuhi. Empat elemen pokok desain senantiasa dipertimbangkan dalam membangun suatu hutan kota untuk tujuan estetika, yaitu bentuk, ukuran, tekstur dan warna.

Melalui pengaturan jarak tanam serta berpegangan kepada azas berulang (repition), para arsitek memanfaatkan elemen-elemen estetika pokok di atas tetapi jarang menggunakannya sekaligus semuanya, untuk menyusun hutan kota sehingga sedap dipandang. Terutama untuk tujuan membangun taman hutan kota, walaupun tidak selalu digunakan vegetasi asli Indonesia, pengetahuan desain estetika termasuk pengetahuan jenis-jenis flora yang diperlukan guna menunjangnya boleh dikatakan telah cukup berkembang di Indonesia. Oleh karena itu momentum itu perlu dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan desain fungsi hutan kota lebih luas lagi.

Desain serta susunan hutan-hutan tidak hanya diperlukan untuk memenuhi keperluan fungsi estetika, tetapi misalnya desain dan susunan suatu kawasan hutan kota untuk menangkal polusi harus pula dipersiapkan dengan seksama. Untuk itu jenis-jenis flora yang akan dipakai dipilih dengan cermat, desain dan susunan yang diperlukan misalnya adalah jarak vegetasi terhadap sumber-sumber polutan, tebal jalur penangkal, jarak tanam serta susunannya secara vertikal dengan berbagai ukuran pohon serta vegetasi semak.

Untuk keperluan menangkal unsur-unsur gangguan alam seperti angin (shelter belts) misalnya diperlukan pula desain dan susunanya ter-sendiri seperti tinggi penangkal, tebalnya serta susunannya dengan ber-bagai pohon yang berbeda ukuran dengan vegetasi semak dan rerum-putan di bawahnya.

4.6. Kriteria Manajemen dan Perencanaan

Manajemen potensi hutan-hutan kota dimulai dari program penga-daan benih. Walaupun benih-benih mungkin dapat dibeli dari pihak lain, tetapi dianjurkan agar dipersiapkan sendiri karena jumlahnya akan cukup besar. Penyelenggaraan pembibitan seyogyanya mengikuti cara-cara pelak-sanaan teknis yang benar dan tata waktu yang disesuaikan dengan rencana langkah-langkah berikutnya. Semuanya itu hendaklah dituangkan dalam suatu rencana program yang susunannya memenuhi syarat sehingga memu-dahkan penganggaran, pelaksanaannya serta pengawasannya. Ketentuan-ketentuan teknis finansial yang benar dan memenuhi syarat termasuk penyusunan rencananya itu harus pula diikuti oleh kegiatan-kegiaatan pengelolaan hutan kota selanjutnya. Hutan-hutan kota yang dibangun dari pepohonan itu tidak dapat menghindari diri dari kenyataan bahwa vegetasi kayu itu hidup dan tumbuh.

Pemeliharaan-pemeliharaan sejak pendangiran untuk membantu per-tumbuhan pepohonan dan pemangkasan-pemangkasan serta penjarangan-penjarangan selama pertumbuhan pepohonan itu tidak dapat dielakan, kedua perlakuan terakhir itu perlu diadakan karena misalnya mengurangi keindahan atau menghambat kebebasan bergerak para pengunjung pada hutan-hutan kota untuk keperluan wisata.

Selama pertumbuhannya, pepohonan pun tidak terhindar dari tangan-tangan jahil atau kerusakan-kerusakan alami, atau serangan-serangan hama penyakit, sehingga memerlukan penjagaan serta perlakuan-perlakuan yang dibutuhkan. Semua hal itulah yang akan mengisi pokok perencanaan program teknis dan rencana pembiayaannya yang harus disusun. Akhirnya walaupun dalam jumlah serta kualitasnya yang terbatas, potensi hutan-hutan kota diperkirakan akan juga dapat mengalirkan produksi yang mempunyai nilai uang seperti hasil langsung buah-buahan dan biji-bijian, kayu bakar, kayu perkakas ataupun retribusi-retribusi bermacam-macam jasa wisata yang semuanya harus dapat ditaksir dan dimasukan ke dalam perencanaan teknis finansiil tunggal.

Persyaratan harus adanya rencana fisik finasiil dilengkapi dengan keharusan membuat laporan pelaksanaannya kelak harus merupakan kreteria yang turut diperhitungkan dalam menilai pengelolaan suatu kawa-san hutan kota. Perencanaan serta manajemen suatu hutan kota dipandang baik dan memenuhi syarat akan didasarkan kepada hasil-hasil penilaian perencanaan fisik finansiil serta laporan pelaksanaannya yang sesuai dengan kenyataan.

4.7. Status dan Sumber Pembiayaan

Apabila dihubungkan dengan gagasan serta tujuannya, orang mung-kin dengan mudah akan melemparkan tanggung jawab bahwa program hutan kota adalah urusan pemerintah. Akan tetapi apabila diteropong lebih dekat, duduk perkaranya ternyata tidak seluruhnya demikian.

Suatu industri menimbulkan pencemaran lingkungan disebabkan oleh rencana dan kegiatan pemilik industri itu sendiri. Apabila diadakan peni-laian berapa besar kerugian masyarakat sebagai akibat pencemaran itu, mungkin saja jumlah dana yang harus dibayar untuk kompensasi masya-rakat oleh industri itu sama saja bahkan mungkin lebih kurang sama jumlahnya untuk biaya kalau ia membangun dan mengelola sekawasan hutan kota penangkal polusi.

Begitu pula halnya dengan kawasan-kawasan pemukiman yang pada akhir-akhir ini tumbuh bagai cendawan yang seluruhnya direncanakan serta dilaksanakan oleh pengusaha. Suatu kerugian yang mungkin akan timbul karena lingkungan pemukiman kurang sehat dan kurang segar atau terjadinya bencana alam angin ribut karena semuanya itu terjadi akibat tidak tersedianya hutan kota untuk menangkal semua itu, biaya ganti rugi yang harus dibayarkan kepada masyarakat jumlahnya sebanding saja dengan keperluan biaya membangun suatu hutan kota yang dikelolanya sendiri.

Uraian di atas bermaksud mengungkapkan bahwa program hutan kota itu ternyata merupakan kepentingan bersama semua pihak, peme-rintah, swasta bahkan masyarakat luas, sehingga semuanya harus bersam-sama memeliharanya serta rela pula menanggung pembiayaan secara ber-sama-sama.

Hutan-hutan kota tidak selalu harus merupakan hutan-hutan pemerin-tah dan dikelola oleh pemerintah. Pihak-pihak swastapun ternyata langsung banyak berkepentingan dengan hutan-hutan kota itu, sehingga tidak ada salahnya kalau sektor swastapun membangun dan mengelola hutan-hutan kota. Untuk mendorong keadaan itu, memang perlu dipikirkan semacam perangsang oleh pemerintah agar swastapun berkeinginan untuk langsung mau terjun dalam program-program hutan kota.


BAB V

TIPE-TIPE HUTAN KOTA


5.1. Hutan Kota Konservasi

Fungsi pokok tipe hutan kota ini ialah melindungi lahan-lahan kristis dan pengendali kelestarian tanah dan tata air. Lahan-lahan kritis terletak sepanjang sungai utama dan pada lahan-lahan dengan kemiringan kritis. Oleh karena itu lahan-lahan seperti itu yang untuk memudahkan disini disebut zona konservasi I yaitu secara mutlak untuk dijadikan hutan-hutan kota konservasi.

Selain oleh kedua macam lahan yang baru saja diungkapkan, pengendalian kelestarian tanah dan tata air juga dipenuhi oleh waduk-waduk atau empang-empang buatan, saluran-saluran banjir (banjir kanal), cabang-cabang dan anak-anak cabang sungai utama dan pada bagian-bagian kritis sepanjang jalan-jalan umum utama dan jalan kereta api. Lahan-lahan di sekitar dan sepanjang bangunan-bangunan itu yang disini disebut zona konservasi II seyogyanya juga mutlak bervegetasi kayu, akan tetapi belum tentu harus merupakan hutan-hutan kota.

Sebagaimana hasil penelusuran di muka hutan-hutan kota yang mutlak harus dibangun pada zone I itu sekurang-kurangnya luasnya 0,25 hektar dan apabila sepanjang sungai pada jalur masing-masing 50 meter dari kedua tepinya sehingga keseluruhannya menjadi 100 meter. Vegetasi kayu yang harus juga dibangun pada zona II dapat pula berupa hutan-hutan kota, akan tetapi apabila kawasannya di bawah ketentuan di atas bukan merupakan hutan kota.

5.2. Hutan Kota Pemukiman

Peranan yang diberikan kepada tipe hutan ini ialah membantu menciptakan lingkungan udara segar dan sehat serta menambah keindahan lingkungan pemukiman. Pada dasarnya peranan yang baru saja diutarakan itu harus sudah dipersiapkan dalam bentuk lansekap lingkungan berupa taman-taman dan pohon-pohon sepanjang jalan lingkungan. Akan tetapi seringkali tempat-tempat pemukiman terbuka lebar terhadap ancaman polusi udara dari industri-industri yang berbatasan atau dekat lokasinya, atau terhadap ancaman gangguan alam terutama badai angin dari arah laut. Guna menangkal kedua ancaman itu, maka lokasi pemukiman itu memer-lukan hutan kota.

Potensi hutan kota yang berperan sebagai penangkal angin biasanya berbentuk jalur-jalur yang dibangun tegak lurus ke arah sumber-sumber gangguan itu tiba. Sekurang-kurangnya juga tebalnya ditetapkan 50 meter. Gangguan lainnya yang sering mengancam tempat pemukiman itu ialah polusi kebisingan (suara) terutama apabila lokasi pemukiman dengan jalan-jalan raya.

Jenis-jenis vegetasi, desain serta susunan hutan kota yang akan di-bangun, selain direncanakan untuk menangkal gangguan-gangguan yang dikemukakan agar diusahakan juga tetap berfungsi kesehatan dan keinda-han. Pihak swasta yang membangun lokasi pemukiman serta penduduknya mutlak harus berpartisipasi dalam pembangunan serta pembiayaan hutan-hutan kota itu agar lebih memenuhi sasaran dan selera.

2.3. Hutan Kota Kawasan Industri

Peranan pokok tipe hutan ini ialah bertugas menghadang polutan-polutan yang dilepaskan oleh kompleks industri ke udara agar tidak mengganggu lingkungan sekitarnya. Terutama industri-industri yang menggunakan bahan-bahan bakar pelikan (minyak bumi atau batubara), melepaskan gas-gas beracun ke udara sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.

Membangun hutan-hutan kota sebagai penangkal gas-gas beracun, pada hakekatnya merupakan kewajiban yang melekat bagi setiap rencana pembangunan industri, sehingga pelanggaran terhadap kewajiban itu dapat dipandang sebagai perkosaan kepada hak-hak azasi manusia.

Jenis-jenis vegetasi yang dipilih untuk ditanam serta desain dan susu-nan penanamannya perlu direncanakan agar memenuhi sasaran fungsi jasa yang diharapkan. Akan tetapi boleh dikatakan belum ada di Indonesia pengetahuan-pengetahuan tentang hal itu, sehingga penelitian-penelitian untuk mencari jawaban permasalahan itu benar-benar mendesak untuk dijalankan.

Polusi yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan industri tidak hanya berupa polutan-polutan gas beracun, tetapi sering juga merupakan polutan-polutan yang mempengaruhi aliran sungai yang mengalir ke kawasan-kawasan pemukiman. Semua itu harus dikaji seksama sehingga masyarakat tidak akan dirugikan dengan adanya kegiatan-kegiatan industri tersebut.

2.4. Hutan Kota Wisata

Peranan hutan-hutan kota wisata ialah untuk sarana penduduk kota dalam memenuhi kebutuhannya akan rekreasi dan berbagai bentuk wisata. Seperti telah diungkapkan terlebih dulu, pertumbuhan kehidupan di perko-taan telah menampilkan permintaan yang meningkat terus akan fasilitas wisata sebagai komoditi ekonomi yang mungkin tangibel.

Walaupun ketentuan luas kawasan minimal menetapkan 0,25 hektar adalah cukup menjadi hutan kota, akan tetapi luas hutan kota yang sesungguhnya diperlukan tergantung oleh faktor-faktor seperti penduduk (jumlah, tingkat pendidikan, umur, tempat tinggalnya dan lain-lain), uang (tingkat penghasilan, biaya rekreasi dan lain-lain), komunikasi dan waktu.

Khusus mengenai faktor-faktor waktu dan komunikasi telah melahir-kan konsep lokasi hutan-hutan wisata yang sebaik-baiknya yang disaran-kan dalam tulisan ini. Berdasarkan hasil-hasil penelusuran, lokasi yang disarankan ialah “jarak jangkau sepadan” yang disukai untuk ditempuh oleh para pengunjung agar ia masih akan merasa senang menikmati kegiatan rekreasinya. Jarak jangkau sepadan itu diusulkan kira-kira 5 km dari lokasi pemukiamn penduduk atau dari ujung (terminal) kendaraan umum dari tempat tinggalnya. Akhirnya diulang kembali beberapa hasil penelusuran lokasi hutan-hutan kota wisata itu yang tidak perlu dibatasi oleh kesatuan administrasi pemerintahan serta pemilikan serta pengelo-laannya juga tidak pelu harus selalu oleh pemerintah.

5.5. Hutan-Hutan Kota Lainnya

Tipe pertama yang ingin disebutkan di sini ialah ”sangtuari satwa”, terutama burung-burungan, yang seringkali tampil keperluannya di tempat-tempat tertentu. Sering terjadi jenis-jenis satwa tertentu menuntut persya-ratan tempat tinggal khusus, maka untuk membantunya sehingga dapat turut berpartisipasi dalam upaya konservasi dunia, hutan-hutan kota harus disediakan untuk keperluan tersebut. Kemiripan dari santuari satwa ialah “ekosistem unik” dimana ditemui tetumbuhan langka bahkan unik yang perlu diawetkan, hutan-hutan kota untuk keperluan itu mutlak harus disediakan.

Hutan-hutan kota “penangkal angin” meminta juga persyaratan khu-sus lokasi karena arah gangguan alam yang akan ditangkal. Hutan-hutan kota seperti itu berupa jalur-jalur yang biasanya memanjang sepanjang pantai, perlu disediakan pula. Tipe hutan kota lainnya yang perlu dising-gung disini ialah untuk wadah yang diperlukan dalam membantu mengen-dalikan limbah kota yang semakin menjadi masalah itu yang seringkali dikelola dengan proses recycling. Wadah-wadah “pengendali limbah” juga perlu disediakan di dalam kawasan hutan-hutan kota.


BAB VI

TINJAUAN TINDAK LANJUT PROGRAM


6.1. Potensi Jakarta Dalam Pengembangan Hutan Kota

Daratan DKI Jakarta pada hakikatnya dapat dilihat sebagai 10 buah daerah tampungan air (water catchment area) dari 10 buah aliran-aliran sungai-sungai utama yang mengalir arah Selatan-Utara, yaitu Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Sekretaris, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Mampang, Ciliwung, Cipinang, Kali Sunter dan Kali Buaran dan Cakung.

Di Bagian hulu daerah-daerah aliran sungai yang terletak di sebelah Selatan itu, masing-masing relatif lebih sempit yang semakin meluas ke bagian hilirnya seolah-olah merupakan kipas-kipas terbuka dengan pang-kalnya bagian hulu dan kepala-kepala kipas terkembang bagian hilirnya yang lalu kipas-kipas terkembang itu saling berhimpitan (overlapped) di dalarn DKI Jaya yang rata.

Wilayah-wilayah hulu pangkal kipas itu luasnya diperkirakan 33.803 hektar yang disebut Wilayah Pengikisan, dimana proses-proses pengikisan tanah dapat terjadi yang lalu bersama-sama air yang kelebihan tertuang kepada wilayah-wilayah kipas terkembang yang luasnya 30.850 hektar dan yang disebut Wilayah Endapan.

Dengan demikian, DKI Jaya mempunyai masalah erosi tanah di wilayah pengikisan dan wilayah endapan menghadapi masalah-masalah yang diakibatkan erosi itu berupa pelumpuran, banjir musiman dan pesediaan air tanah yang semuanya ditentukan oleh sifat-sifat morfologi dan geologi setempat.

Memperhatikan sifat-sifat fisik daratan DKI Jaya sebagai yang baru saja diungkapkan di atas, maka dari sudut fungsi perlindungan semata-mata, program hutan kota akan dapat memikirkan langkah-langkahnya dalam turut menyumbangkan peranan baik di wilayah pengikisan maupun di wilayah endapan.

Dengan suatu Peraturan Daerah, DKI Jakarta telah memiliki suatu Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) sebagai puncak strategi pengem-bangan kota sampai tahun 2005 sebagai hasil-hasil pemikiran serta pengalaman selama ini. Pengembangan dan pengendalian kelestarian alam dan lingkungan yang merupakan sasaran pokok program hutan kota telah diberikan arahan dalam “Program Pengembangan Lingkungan Ruang Terbuka Hijau (RTH)” dari RUTR itu yang didasarkan juga kepada sifat-sifat serta potensi fisik daratan DKI Jakarta sebagaimana telah diungkap terlebih dulu. Secara singkat pokok-pokok perencanan RTH itu dapat disarikan sebagai berikut:

(1). Guna menangkal abrasi air laut serta bahaya badai angin, jalur preservasi hijau setebal 100 meter dari pantai di bagian barat laut wilayah endapan dijadikan hutan lindung, lahan sisanya sampai jalan lingkungan utara dijadikan hutan wisata;

(2). Di tempat-tempat yang memungkinkan di bagian Barat dan Timur kota dari wilayah endapan disisihkan untukkegiatan pertanian sebagai salah satu bentuk RTH yang ingin dikembangkan;

(3). Kebijaksanaan pembangunan fisik di wilayah pengikisan ditentukan tidak melebihi 10-25 % dari luas wilayah dengan rencana pemba-ngunan koridor-koridor hijau selebar 50-100 meter sepanjang sungai-sungai utama yang diteruskan lebih sempit minimal 10 meter mema-suki wilayah resapan;

(4). Jalur-jalur dibangun juga pada cekungan-cekungan dan waduk-waduk buatan penampung banjir. Cengkareng dan Cakung drain setebal 50-75 m, waduk-waduk lain minimal 50 m; saluran-saluran pengendali bajir Muara Angke 5-10 m, Tarum Barat minimal 150 m; sepanjang jalan-jalan raya dan jalan-jalan kereta api serta saluran listrik tegangan tinggi, lingkungan-lingkunan kerja dan pemukiman serta tempat-tempat olah raga dan keperluan-keperluan umum seperti kuburan, terminal dan sebagainya;

(5). Pemugaran potensi hijau Condet dan Menteng serta pengembangan wilayah-wilayah hijau khusus Daerah Pesisir Pantai (5.000 hektar), Kawasan Halim - TMII - Makohankam (4.750 hektar), Pelud Kemayoran (490 hektar) dan lingkungan Monas (225 hektar).

Apabila dikaji dengan seksama dapat dikatakan bahwa Rencana Pengembangan RTH di atas sudah cukup baik, bahkan dapat dikatakan dapat melebihi sasaran yang dituntut oleh kebutuhan fisik yang diungkap terdahulu. Akan tetapi tampil pertanyaan sampai dimanakah langkah-langkah yang telah dipersiapkan untuk itu dan bagaimana kecenderungan-nya?.

Usaha-usaha memasyarakatkan Perda yang sudah sangat baik itu merupakan langkah penting yang sangat strategik, oleh karena penduduk harus turut menyadarinya sehingga mau aktif berperan serta dalam pelak-sanaan Perda. Akan tetapi langkah-langkah ke arah itu tampaknya masih harus ditingkatkan, karena lembaga-lembaga kedinasan yang sudah aktif lebih asyik berkarya dalam bidangnya sendiri melalui pendekatan-pende-katan bersifat pembangunan fisik.

Sasaran-sasaran Perda ternyata masih sangat luas dan masih banyak yang belum terjamah. Oleh karena itu sasaran-sasaran itu perlu diperinci lebih tajam sampai habis dan dengan tegas melimpahkan pelaksanaan operasionalnya kepada badan-badan yang dipercayakan yang lalu diikuti dan didukung oleh program-program koordinasi yang luwes dan terus-menerus. Dalam hubungan ini tampak peluang terbuka bagi program hutan kota yang dapat memberikan sumbangannya secara positif. Semua hal di atas itu seyogyanya dituangkan dalam berbagai peraturan pelaksanaan Perda yang sebaiknya dijalankan dalam waktu tidak terlampau lama.

Sejak awal tahun 70-an di DKI Jakarta sebenarnya sudah sangat aktif berjalan kegiatan-kegiatan penghijauan oleh Dinas Pertamanan. Disamping itu dinas-dinas dalam lingkungan Departemen Pekerjaan Umum juga aktif terutama dalam rangka pembangunan jalan-jalan baru. Hasil-hasil kegiatan Dinas Pertamanan itu berupa jalur-jalur pinggir jalan, jalur-jalur hijau dan taman-taman yang sehari-hari sudah tampak hijau melambai-lambai telah berbicara dengan sendirinya bahwa lembaga itu telah mencatat prestasinya dengan baik. Menurut data statistik Dinas Pertamanan, selama 10 tahun karyanya telah dibangun dan terus dibina sebanyak 386 buah taman seluas 1.849.726 m2, di antaranya yang menonjol adalah Taman-taman Monas, Situ Lembang, Suropati, Martha Tiahahu, Flamboyant, Taman Bahari dan Taman Simanjuntak, sedangkan jalur pinggir jalan 565 buah seluas 4.391.556 m2 dan jalur-jalur hijau sebanyak 44 buah seluas 11.887.801 m2.

Keseluruhan prestasi itu diperkirakan ekivalen 3.150 hektar yang akan ditingkatkan sampai awal tahun 1986 menjadi 6.371 hektar dari target yang akan dicapai di seluruh DKI Jakarta seluas 23.750 hektar. Dalam pada itu lembaga kedinasan itu juga telah melancarkan berbagai program penyuluhan dan latihan serta pengawasan seperti penyuluhan-penyuluhan kepada sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi, pramuka, organisasi-organisasi dan lingkungan-lingkungan RT/RW, kursus-kursus keteram-pilan, penyediaan bibit, membina kewajiban para pelajar dalam penghi-jauan serta larangan-larangan menebang dan kewajiban-kewajiban mena-nam.

Disamping itu tidak dapat diabaikan hasil-hasil prestasi yang telah dicapai oleh lembaga-lembaga kedinasan lainnya dalam mengembangkan dan membina potensi-potensi hijauan kota itu seperti oleh Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan. Walaupun hasil-hasil karya lembaga-lembaga itu tidak tampak sehari-hari, prestasi mereka cukup membangga-kan. Namun demikian apabila semua hasil yang baik itu dihubungkan dengan sasaran yang ingin dicapai oleh Perda serta tuntutan persyaratan fisik daratan Jakarta seperti telah terungkap, tergambar masih luas sekali yang belum sempat dijamah yang sekali lagi membuka peluang bagi parti-sipasi program hutan kota untuk turut mensukseskan Perda DKI Jaya itu.

Momen prestasi-prestasi berbagai kelembagaan dinas itu bersama-sama dengan program hutan kota hendaknya dapat berpadu dalam men-capai kota Jakarta yang sehat, tertib dan nyaman seperti yang dicita-citakan.

6.2. Persepsi dan Dukungan Masyarakat

Dimana pun penduduk melihat vegetasi kayu, ia akan terpanggil untuk turut menjaga dan memeliharanya. Dia merasa bahwa undang-undang akan menjatuhi hukuman kepadanya apabila ia mengganggu vegetasi itu atau kalaupun samar-samar ia tidak paham bahwa peraturan semacam itu ada, ia menginsyafi bahwa sesuatu kekuasaan lebih tinggilah yang akan menjatuhkan hukuman kepadanya dan kepada keturunannya. Oleh karena itu ia akan sangat marah apabila melihat seseorang mengusik vegetasi itu meskipun tidak sengaja. Ia ingin langsung menegur dan mena-sihati orang itu dan kalau dimungkinkan bahkan ia juga ingin langsung memberikan pelajaran yang sepadan. Lebih dari itu, pada saat-saat ia me-lihat sekelompok petugas yang sedang memelihara vegetasi kayu, ia protes dan bertanya mengapa pohon-pohon itu harus dipangkas atau ditebang?. Kalau dapat ia ingin langsung menanami semua lahan dengan pepohonan dimana pun yang dianggapnya perlu. Oleh karena itulah, disebabkan ia kurang paham serta waktunya terbatas, ia mempercayakan tugas demikian itu kepada yang berwenang dan lebih ahli sehingga ia rela menyumbang-kan iurannya untuk membiayai program hutan kota.

Ungkapan persepsi Abang Jaya di atas merupakan keadaan idiil yang ingin dicapai pada tahap program hutan kota telah berhasil dengan me-muaskan. Akan tetapi pada kenyataannya dewasa ini keadaan masih jauh karena disamping Abang Jaya terdapat lebih banyak Abang-abang Jahil yang masih acuh bahkan sering usil kepada vegetasi kayu.

Walaupun mereka acap kali pula ikut menikmati jasa-jasa rekreasi dan kesegaran vegetasi kayu, mereka seolah-olah tidak ingin tahu akan akibat-akibat yang akan dihadapi kalau vegetasi itu musnah, tidak merasa turut bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan vegetasi dan bahkan sering memandang vegetasi kayu sebagai hambatan.

Program hutan kota pada hakekatnya bukan merupakan gagasan kegiatan baru karena sebenarnya telah lama berlangsung melalui gerakan penghijauan, tetapi karena istilahnya relatif baru mungkin saja akan menemui semacam keraguan pada masyarakat. Jika terhadap gerakan penghijauan masih banyak ditemui abang-abang jahil, maka dapat diharap-kan abang-abang jahil program hutan kota akan lebih banyak dijumpai pada tahap-tahap pertama kampanye program itu.

Oleh karena itu langkah-langkah pemasyarakatan gagasan program hutan kota melalui usaha-usaha penyuluhan dan latihan harus menjadi prioritas dalam tahap-tahap awal pelaksanaan program itu.

6.3. Partisipasi Dunia Swasta

Pioritas lain yang harus disadari untuk segera meraih sukses dalam pelaksanaan program hutan kota ialah merangkul dunia untuk mereka mau menyadari program dengan tulus ikhlas, sehingga spontan rela serta siap aktif menanganinya bersama.

Peranan serta kegiatan-kegiatan dunia swasta diperkotaan sungguh besar, terutama karena aktivitas mereka dalam berbagai industri komoditi dan industri pemukiman. Dalam kedua bidang industri itu, swasta menguasai lahan-lahan yang cukup berarti yang mempengaruhi lingkungan perkotaan cukup luas. Oleh karenanya peran sertanya dunia swasta dalam program akan sangat membantu lebih jauh pemasyarakatan gagasan. Peran serta dunia swasta dalam program hutan kota itu tidak selalu hanya harus dihubungkan dengan kewajiban dan tanggungjawabnya yang langsung dengan aktivitas industrinya. Mereka juga dapat diundang dan dirangsang turut dalam pengusahaan dan pengelolaan hutan-hutan kota wisata.

Pada dasarnya partisipasi langsung dengan aktif sendiri dalam pro-gram hutan kota adalah yang terbaik. Untuk itu maka melalui bermacam-macam ketentuan atau peraturan, hendaknya pemerintah dapat memikirkan bermacam-macam perangsang guna mendorong program hutan kota. Hanya dalam keadaan-keadaan yang dapat diterima pihak-pihak swasta tidak dapat melaksanakan sendiri program, pemerintah dapat turun tangan membantunya dengan bantuan dana mereka.

6.4. Studi-Studi Pengembangan

Disana-sini telah diungkap dimuka bahwa masih banyak pengetahuan dasar program hutan kota Indonesia belum diketahui dan perlu digali, sehingga berbagai studi harus dilaksanakan dalam rangka mengembang-kan dan mendewasakan program itu.

Jenis-jenis flora Indonesia, yang akan menjadi tulang punggung tegakan-tegakan hutan kota, misalnya banyak yang belum diketahui watak-watak atau sifat-sifatnya terhadap berbagai polutan. Apakah akasia atau angsana, dua jenis yang kini banyak digunakan untuk penghijauan, peka atau sebaliknya toleran terhadap polutan oksida belerang? dan bagaima-nakah reaksi kedua jenis flora itu terhadap polutan lainnya, misalnya terhadap oksida nitrogen? Kalaupun kelak sudah diketahui watak atau sifat polusif jenis-jenis flora itu, akan timbul lagi pertanyaan bagaimana reaksi-nya terhadap polusi-polusi cahaya dan suara, terhadap kesilauan dan kebi-singan, dua macam polusi lain yang semakin merisaukan di perkotaan.

Dalam hubungan peran atau fungsi lain yang akan diberikan kepada sejenis flora akan tampil juga bermacam-macam pertanyaan seperti bagai-mana jenis-jenis itu ketahanannya terhadap badai angin, terhadap api, kemampuannya untuk meningkatkan resapan air tanah dan mengurangi aliran permukaan, potensinya untuk menarik burung-burungan, potensi arsitekturalnya dan seterusnya. Pendek kata untuk menggali pengetahuan jenis-jenis flora saja akan dituntut banyak studi yang memerlukan waktu.

Terhadap desain dan susunan hutan kota akan menampilkan juga banyak tantangan menggali pengetahuannya sehingga menimbulkan (to generate) tuntutan kegiatan studi yang panjang, seperti berapa jauh vege-tasi kayu harus ditanam dari obyek yang akan dilindungi atau berapa jauh dari sumber polutan, berapa tebal jalur penangkal harus dibangun atau berapa luas kalau berupa tegakan utuh, berapa tinggi pohon-pohon yang harus dipilih dan bagaimana susunannya diatur dengan pohon-pohon yang lebih rendah dan atau dengan semak-semak dan rerumputan.

Konsep dasar serta batasan-batasannya tentang hutan kota yang disarankan di sini belum lagi diuji coba, lokasi serta penyebaran hutan-hutan kota itu belum lagi ditelusuri, pokok-pokok manajemen dengan syarat-syaratnya untuk pengelolaan hutan kota balum lagi disusun dan demikianlah seterusnya akan sangat panjang kiranya uraian tentang penge-tahuan-pengetahuan dasar yang dirasakan perlu diselidiki untuk mengem-bangkan program hutan kota Indonesia itu. Untuk itu pelaksanaan program hutan kota yang dirancang dan dikelola dengan baik ternyata memerlukan daya dukung studi pengetahuan dasar program. Hasil-hasil studi itu akan merupakan prestasi ilmiah yang masih sangat langka dewasa ini kalaupun tidak mau dikatakan yang pertama, maka diperkirakan akan sangat menarik perhatian para ilmuan dan badan-badan penelitian untuk menerjuninya.

6.5. Perencanaan Lanjutan

Dihubungkan dengan Perda No. 6 tahun 1999 DKI Jakarta, tentang RTRW DKI Jakarta 2010, pengungkapan perogram hutan kota dalam tulisan ini merupakan prakarsa yang wajar dalam rangka suatu proses perencanaan. Dalam perda tersebut pada dasarnya merupakan suatu Ren-cana Induk yang mengandung pernyataan-pernyataan kehendak atau hal-hal yang ingin dicapai selama jangka waktu 10 tahun sampai tahun 2010 yang akan datang, sehingga harus diikuti suatu rencana denah induk sebagai langkah tindak lanjutnya.

Dengan kata lain ungkapan-ungkapan tulisan ini merupakan usaha-usaha identifikasi proyek-proyek yang ditelusuri untuk dilaksanakan sesuai dengan Rencana Induk, khususnya untuk mengisi pengembangan potensi-potensi Ruang Terbuka Hijau.

Berdasarkan hasil-hasil penelusuran itu, potensi serta sifat-sifat dataran Jakarta menuntut dikukuhkannya lahan-lahan RTH untuk fungsi konservasi di wilayah pengikisan dan wilayah endapan, hal mana telah tergambar juga dalam Perda tersebut. Ditinjau dari aspek-aspek kependu-dukan serta program-program pembangunan industri komoditi dan pemu-kiman, tuntutan lahan-lahan guna menunjang permintaan kedua sektor itu perlu dikembangkan kalau ternyata belum dapat ditampung oleh RTH konservasi, lahan-lahan RTH itu diperlukan untuk hutan-hutan kota pemukiman, industri dan wisata.

Lahan-lahan RTH yang telah dikukuhkan itu menjadi hutan-hutan kota apabila kriteria-kriterianya dipenuhi, apabila tidak dipenuhi dapat merupakan taman-taman, jalur-jalur hijau, jalur-jalur pinggir jalan, dan atau bentuk-bentuk RTH lainnya seperti lahan-lahan pertanian, empang-empang perikanan dan lain-lain.

Berdasarkan prestasi-prestasinya yang telah dicapai sampai sekarang, sebaiknya lembaga-lembaga kedinasan itu didorong untuk terus mengem-bangkan dan meningkatkan pembinaan lahan-lahan RTH yang kini dikelolanya. Ruang-ruang terbuka hijau baru berdasarkan pengukuhan agar dengan tegas dan segera dipercayakan kepada lembaga-lembaga kedinasan yang dinilai dapat mengelolanya dengan baik atau dapat juga dipercayakan kepada badan-badan lain yang dinilai akan mampu turut mensukseskan kebijakan pemerintah tersebut. Hutan-hutan kota dengan demikian tidak perlu pengelolaannya secara khusus dilaksanakan oleh suatu badan ter-tentu, siapapun dapat menanganinya asal perencanaan serta manajemen telah memenuhi ketentuan.

Apabila pokok-pokok pikiran hasil-hasil penelusuran ini dapat dite-rima, maka langkah berikutnya untuk tindak lanjut Perda No. 6 tahun 1999 itu ialah menyusun Rencana Denah Induk guna menam-pung gagasan-gagasan itu. Program hutan kota menjadi salah satu komoditi dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam RTRW DKI Jakarta. Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1997 tentang Hutan Kota, dan mencermati pelak-sanaan program pembangunan hutan kota atas dasar implementasi program pengembangan RTH, tampaknya keberadaan hutan kota di DKI Jakarta menjadi strategis kedudukannya untuk dikembangkan.


BAB VII

MAHKOTA HIJAU HUTAN KOTA UI

7.1. Hutan dan Kota

HUTAN dan KOTA, adalah dua kutub isu yang selalu mengge-litik di dalam fenomena pembangunan dewasa ini, karena hutan mem-punyai ekspresi kearah konservasi, sedangkan kota ekspresinya berupa ekspansi. Keduanya ternyata merentangkan benang merah dalam pembangunan yang berkesinambungan, antara jawaban atas tututan dan tantangan ruang dan waktu yang dihadapi.


Mahkota Hijau, merupakan nama Hutan Kota yang merupakan plasma pembungkus kampus baru UI (Depok) dan secara spatial loka-sinya tepat berdiri di titik sentrum pusaran inti pembangunan:

(a). Di sisi bagian belakang, terlihat lingkaran hutan kawasan puncak yang merupakan potret dinamika industri wisata.

(b). Di sisi depan, merupakan lingkaran kota DKI Jakarta yang merupa-kan potret dinamika industri urban jasa.

(c). Keduanya dalam gelang-gelang lingkaran dinamika industri JABO-DETABEK dan kawasan agro Jawa Barat.

Dalam geliat membangun citra dan mission university, UI diku-rung oleh perangkat, kurikulum, berbagai macam kasus dan masalah yang tidak henti-hentinya, dan seolah-olah menggiring UI secara kodrati agar berfungsi sebagai Laboratorium sekaligus transformator pembangunan yang berkesinambungan. Persepsi ini telah diantisipasi oleh konsepsi Mahkota Hijau UI, yang bersumber dari Rencana Induk Universitas Indonesia melalui SK. Rektor UI No. 088/SK/R/UI/1985, yang telah dimplementasikan melalui SK. Rektor No. 084/SK/R/UI/1988. Bersamaan dengan lengkapnya pembangunan fisik, serta semakin hidupnya suasana dan aktivitas kampus, justru membuat obsesi lingkungan hijau UI terasa menjauh, karena lemahnya hasil-hasil pembangunan tata hijau yang konkrit di lapang.

Bentang permasalahan kebutuhan terhadap Ruang Terbuka Hijau Kampus (RTHK) dewasa ini tidak lagi semata-mata merupakan ke-inginan kaum pencinta lingkungan, namun demikian telah berkembang menjadi opini masyarakat secara luas. RTHK terbukti efektif berperan sebagai filter menyerap polusi udara, penghasil oksigen, penghalau kebi-singan serta pelerai kepenatan pergerakan masyarakat. Hal yang ter-akhir dilandasi juga oleh kerinduan akan sifat-sifat alami yang semakin tersingkir dari era kemajuan teknologi. Dalam kontek ini, pembangu-nan kampus baru UI Depok, yang berdiri dan di bangun di atas lahan seluas ± 312 ha. Untuk kepentingan pembangunan sarana pendidikan dicadangkan kawasan ± 165 ha termasuk tata bangunan hijau lansekap, kawasan pembangunan hutan kota 90 ha, pengembangan ekosistem periran 30 ha, dan sisanya 27 ha, merupakan kawasan penggunaan lain termasuk sarana prasarana penunjang aktivitas kemahasiswaan. Dalam pada itu pembangunan kawasan hijau binaan di lingkungan kampus, mempunyai makna penting dan strategis terhadap pengisian kebutuhan masyarakat akan RTH kampus.

Harapan dan obsesi terhadap pembangunan hutan kota berkembang menjadi semacam "tuntutan diam" baik dari kalangan masyarakat luas maupun di dalam masyarakat UI sendiri. Hutan kota UI diharapkan tidak hanya memberikan kesejukkan alami, namun juga sumbangan konkrit bagi pola pembangunan yang berlandaskan keseimbangan dan keserasian dengan alam lingkungannya. Dalam kontek ini, bentuk sumbangan yang dirasakan cukup komplek dan layak bagi sebuah lembaga yang menyan-dang nama Universitas Indonesia.

Langkah nyata yang diambil pihak pimpinan Universitas, dengan dikeluarkannya SK. Rektor UI No. 088/SK/R/UI/1985, pada hakekatnya ada dua sasaran pokok, yakni: Pertama; penampilan dan kesan citra UI yang diinginkan (sasaran pokok misional). Kedua; perwujudan manfaat-manfaat serbaguna hutan (sasaran utama fungsional), yang dipenuhi dan dilengkapi berbagai macam vegetasi tetap. Implementasi dari SK. Rektor tersebut, harus ditunjang oleh perencanaan yang matang, mestinya dijabar-kan dalam bentuk Rencana Pokok Penghijauan (RPP) dan Rancangan Desain Perekayasaan (RDP), yang akan lebih mendekatkan diri pada wujud nyata. Perkembangan lebih lanjut, adalah penetapan sebagian lahan kampus UI, sebagai kawasan hijau binaan 120 ha, yang merupakan wila-yah konservasi resapan air daerah Jakarta dan sekitarnya. Dasar kepen-tingan pembangunan hutan kota kampus baru UI Depok, diuraikan secara eksplisit melalui SK. Rektor No. 084/SK/R/UI/1988, yang pada hake-katnya meliputi dua kepentingan, yakni: Pertama; pembangunan dan pengembangan sarana penunjang pendidikan serta penelitian Universitas Indonesia. Kedua; wahana koleksi dan konservasi plasma nutfah serta ekosistem perairan yang berperanan fungsi sebagai wilayah resapan dan tandon air.

Berdasarkan SK. Rektor di atas, telah disusun Rencana Induk Pem-bangunan Hutan Kota (RIPHK), sebagai dasar pola kebijaksanaan stra-tegis dan operasional pembangunan beserta aspek-aspeknya, untuk kepen-tingan arahan dan pedoman teknis pelaksanaan kegiatan lapang. Sasaran yang ingin dicapai melalui RIPHK Kampus UI Depok, antara lain menca-kup: (a). Dibangunnya pusat persemaian seluas ± 2 ha, sebagai wahana koleksi bibit dan atau transisto bibit dari luar kawasan, (b). Pembangunan hutan kota 90 ha, dengan jenis-jenis tetumbuhan VEGAL (Vegetasi Asli, yang mencerminkan pepohonan yang berasal dari Jakarta dan sekitar-nya, pada tempo dulu), dan VETAP (Vegetasi Tetap) baik WALBAR ”Wallaceae bagian Barat”, untuk selanjutnya disebut Wales Barat, WALTIM ”Wallaceae bagian Timur” untuk selanjutnya disebut Wales Timur, serta pembangunan kantong-kantong (tandon) air resapan (situ) 30 ha, (c). Pemeliharaan semua jenis tanaman yang telah dan akan dibudi-dayakan, (d). Penjagaan terhadap keamanan hutan, baik akibat ulah tangan-tangan jahil, penggarap ilegal maupun kerusakan lainnya, (e). Bangunan kontruksi dan pengadaan sarana-prasarana guna mendukung kegiatan di atas, dan (f). Membangkitkan kesadaran serta partisipasi masyarakat di sekitar kampus pada umumnya dan masyarakat kampus (sivitas akademika) pada khususnya.

7.2. Konsepsi Dasar Dalam Perencanaan

Pembangunan Mahkota Hijau

Vegetasi tetap (vetap), istilah dalam hutan kota yang digunakan dalam Mahkota Hijau, diamanatkan agar mencapai tujuan ganda yaitu: (a). Se-bagai sarana untuk manfaat serbaguna sesuai dengan fungsi suatu vetap yang harus dipenuhi, dan (b). Penampilan kepribadian UI, Citra dan Wi-bawanya yang bersifat terbuka, peka dan tanggap yang senantiasa siap mengabdi secara nasional. Telaah manfaat serbaguna dimaksud, sebagian besar telah terungkap sebagai rincian sasaran utama fungsional kedalam pokok-pokok manfaat yang meliputi: (a). Proteksi terhadap tanah, (b) Pengendalian sumberdaya air, (c). Sangtuari satwa, (d). Penangkaran dan pembinaan sumberdaya plasma nutfah, (e). Keindahan, kesegaran dan kesehatan lingkungan, (f). Sarana olah raga alam, (g). Rekreasi dan wisata, (h). Sarana latihan dan pendidikan, (i). Percontohan dan pangkalan aju, (i). Produksi terbatas (j). Riset dasar dan pengembangan, serta (k). Model hutan kota.

Dalam menggambarkan "citra dan wibawa" sebagai ilustrasi kepri-badian UI, dalam istilah arsitektur dikenal tahap sematik untuk menda-patkan gambaran praktis dari suatu falsafah yang digunakan. Secara singkat pokok-pokok gambaran yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

(1). Keteladanan UI, karena didalamnya memang terdapat lembaga-lembaga ilmiah tertua di tanah air, lokasinya cukup strategis di Ibukota negara, lulusan-lulusannya banyak yang memainkan peranan kunci di atas panggung birokrasi negara dan seterusnya dan setrus-nya.

(2). UI bersifat Nasional dan Bhineka Tunggal Ika, dimana mahasiswa serta para pembimbing (dosen) berasal dari desa manapun di tanah air ada di UI. Perhatian dalam program-programnya terarah kese-luruh pelosok penjuru Nusantara, sifat NASIONAL dan BHINEKA TUNGGAL IKA memang tidak terbantahkan.

(3). Tetapi yang banyak ingin ditonjolkan ialah "watak peka dan tanggap" UI terhadap segala masalah kemasyarakatan, sifat luhur jiwa UI yang secara transparan harus terjabarkan. Watak itu dimung-kinkan oleh sifat KETERBUKAAN UI, yang senantiasa harus terus dipelihara.

(4). Akhirnya upaya perumusan sematik harus pula mampu menggam-barkan peran dan prestasi UI sebagai contoh dan bersifat nasional itu dalam keterpaduan sistem tunggal kampus UI, yang menyatu dengan komponen lainnya, yang berupa gedung-gedung megah berikut lingkungan lansekapnya yang didesain oleh para arsitek.

Langkah RPP lebih lanjut, ialah sintaksisasi gambaran citra dan wibawa, yang telah diungkap, diaplikasikan kedalam simbol-simbol di lapangan. Untuk itu, memerlukan daya visualisasi tajam serta pengetahuan potensi simbolisasi dari sumberdaya vetap (vegetasi tetap) yang akan dikembangkan. Dalam hubungan ini, dimanfaatkan potensi sumber daya sebagai berikut:

(a). Potensi lahan yang dapat disimbolkan secara spatial dengan zonasi yaitu: areal, kompleks, zona, sektor, blok, dan petak.

(b). Berbagai jenis vegetasi (spesies) yang masing-masing memiliki potensi arti tersendiri, seperti untuk penamaan situ, kepribadian dan ciri Fakultas maupun Lembaga.

(c). Vegetasi alam setempat, yang memiliki potensi kekhasan daerah, seperti Ciputat, Cimanggis, Cipinang, kampung Dukuh, Rambutan, Jatinegara, Pulau Gadung, dan seterusnya dan seterusnya.

(d). Akhirnya dalam penerapanya digunakan konsep IUCN (International Unitates Conservation Natural), untuk memperlakukan Mahkota Hijau sebagai suatu unit konservasi sumberdaya plasma nutfah, sebagai landasan ilmiah yang digunakan.

Melalui pendekatan simbolisasi di atas, maka ujud gambaran citra dan wibawa UI kedalam Mahkota Hijau tersusun sebagai berikut:

(a). Zona vegetasi asli (VEGAL), adalah inti Mahkota Hijau yang merupa-kan koleksi vegetasi alam setempat (Jakarta-Depok), hingga menjadi rekayasa hutan alam tropika. VEGAL disini, melambangkan watak UI yang peka-tanggap-terbuka, serupa dengan sifat hutan hujan tropika secara alami.

(b). Zona Wales Barat (WALBAR), hendak dikembangkan menjadi jenis-jenis vegetasi asli yang merupakan jenis vegetasi asli daerah sebelah Barat garis wales pada waktu lalu, saat ini dan masa mendatang yang mempunyai arti dan makna nasional, nilai ekonomis, sosial dan atau politik. Jenis-jenis vegetasi semacam itu, antara lain Jati (Tectona grandis) merupakan kayu teradaptatif di dunia karena memiliki modulus kenyal dan kembang susut yang mampu menyesuaikan dengan segala bentuk iklim di dunia, meranti (Shorea spp) merupakan jenis yang merajai hutan tropis di belahan bumi Nusantara, kopi (Cofea spp) merupakan produk rempah-rempah Indonesia yang dikenal di dunia sejak zaman cultur stelsel (kolonial Belanda), karet (Hevea brasiliensis) merupakan produk karet alam yang menduduki produksi rangking dua dunia sejak tahun 1907 hingga sekarang, dan beberapa jenis-jenis lainnya.

(c). Simbolisasi WALBAR, hendak melambangkan citra serta wibawa UI sebagai Institusi Nasional, keteladanan serta kepemimpinan seka-ligus prestasi kesiapan dalam berkarya. Gambaran citra dan wibawa UI oleh WALBAR diulangi oleh zona WALTIM dengan jenis-jenis terpilih dari sebelah Timur garis wales, seperti kayu hitam (Diopyros celebica) merupakan produk kayu hitam terbaik untuk pembuatan patung kayu, cendana (Santalum album) merupakan produk kayu yang dikenal dengan aromanya, cengkeh (Zyzygium aromaticum) merupa-kan produk rempah-rempah Indonesia yang dikenal sejak zaman kultur stelsel, pala (Myristica fragrans) merupakan rempah-rempah yang dimanfaatkan sebagai salah satu bahan baku obat, matoa (Pometia sp) merupakan produk buah leci yang kini termahal di Eropa, damar (Agathis sp) merupakan kayu sebagai bahan baku kertas terbaik di dunia, dan beberapa jenis lainnya.

(d).Apabila vetap dalam wujud VEGAL, WALBAR dan WALTIM diran-cang dalam zona inti/periferi, zona penyangga mahkota hijau hendak dikembangkan lebih jauh untuk melambangkan berbagai kepriba-dian, citra dan wibawa UI, seperti misalnya Sektor Pusat Persemaian (SPP) peran/fungsi percontohan, gerakan penyuluhan, dan pangkalan aju, Sektor Pusat Riset (SPR) untuk misi Tri Dharma, cagar buah untuk konservasi dan produksi terbatas dan seterusnya.

(d).Akhirnya seluruh pemisahan zona, sektor seperti uraian di atas, harus dipandang sebagai suatu kebulatan sistim tunggal yang menjabarkan sifat Bhineka Tunggal Ika tidak terpisahkan, sebagai penyangga bangunan gedung Kampus UI yang terbentang dari barat hingga ke timur yang menggambarkan bentangan kepulauan Nusantara dan dilingkupi oleh bentang ekosistem perairan (± 30 ha). Hal ini mengingat bahwa Nusantara sebagian besar terliputi oleh lautan (± 62%).

7.3. Langkah Langkah Operasional

Pada dasarnya langkah kegiatan lapang dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu konsolidasi, rehabilitasi lapang dan implementasi pembangunan sesung-guhnya.

A. Tahap Konsolidasi

Sejak tahun 1985 s/d 1998, Pelaksana Program Pembangunan Hutan Kota Kampus UI Depok atas dasar Surat Tugas (No.126/R/UI/1985) di bawah pembinaan Pembantu Rektor Bidang Administrasi Keuangan (PR-II), dalam suatu wadah organisasi di lingkungan Universitas Indonesia, dimasukan ke dalam Unit Pelaksana Teknis Pembinaan Lingkungan Kampus (UPT PLK). Embanan tugasnya antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:

(1). Kerjasama antar Instansi Terkait, strategi yang dilakukan pada tahap awal Koordinator Tim Penghijauan secara aktif mengadakan konsoli-dasi keluar, berhubungan dengan instansi/lembaga terkait, seperti Departemen Kehutanan, Litbang Kehutanan, Dirjen Perairan Depar-temen Pekerjaan Umum, Dinas Teknis di lingkungan DKI Jakarta (Perairan, Kehutanan, Pertanian, Pertamanan, Perikanan) dan atau pihak-pihak terkait lainnya (stakeholder) yang peduli terhadap lingkungan tata hijau khususnya di wilayah DKI Jakarta dan sekitar-nya.

(2). Penertiban Kawasan, meliputi pengamanan terhadap kawasan akibat ancaman tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab, serta ancaman kebakaran hutan, bekerjasama dan atau menjadi tanggung-jawab UPT PLK.

B. Tahap Rehabilitasi Lahan

(1). Rehabilitasi lahan, pada dasarnya merupakan langkah awal dengan sasaran utama diarahkan untuk mengembalikan peranan fungsi lahan yang saat itu dinilai belum optimal produktif, dengan membudida-yakan jenis-jenis cepat tumbuh (program kawasan hijau).

(2). Program kawasan hijau, dengan menanam jenis cepat tumbuh (pioner legum) Acacia mangium, dan Paraserianthes falcataria, pada dasar-nya merupakan program strategis dan bersifat sementara. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi dominansi penutupan tapak kampus oleh vegetasi alang-alang (Imperata cylindrica) dan rumput gegajahan (Panicetum sp) yang mencakup areal 85% dari luas dari seluruh kampus. Hal ini mengingat bahwa jenis pioner legum, dinilai tangguh bersaing dengan dominansi gulma, serta tujuan utamanya lebih diarahkan untuk kepentingan perbaikan terhadap sifat fisik dan kesuburan tanahnya.

C. Tahap Implementasi

(1).Rancangan Desain Pewilayahan, Rancangan desain tata letak berda-sarkan zonase, dipersiapkan lebih awal, dengan mengalokasikan rencana perkayaan jenis VEGAL, WALBAR dan WALTIM, sesuai dengan pembangunan hutan kota yang sesungguhnya (diidamkan), yang kini baru terealisasi pada kawasan Wales Barat (30% dari total luas Mahkota Hijau Hutan Kota UI).

(b). Berdasarkan Konsepsi Biogeografi, pembangunan kawasan hijau kampus mencerminkan bentuk bioregional (WALBAR-WALTIMVE-GAL) mencerminkan propinsi, sedangkan wilayah biogeografinya tercermin melalui perkayaan tanaman dengan jenis-jenis vegetasi tropis, cagar buah, dan tumbuhan masyarakat perkotaan, yang dike-lompokan menjadi 4 bagian, yaitu:

(1). Budidaya tanaman hutan kota yang mencirikan dunia tumbuh-an vegetasi tropis WALBAR, WALTIM dan VEGAL.

(2). Tumbuhan cagar buah, yang mencerminkan makna akan nama-nama tempat seperti Cimanggis (Garcinia mangostana), Kam-pung Manggadua (Mangifera indica), Condet (Jalaca edulis), Kampung dukuh (Lancium domesticum), Kampung Rambutan (Nephelium lapacium) dan beberapa lokasi lain dengan simboli-sasi jenisnya.

(3). Pengembangan agroforestry dalam bentuk tanaman berkhasiat obat, kini telah direalisasikan seluas 2 ha, dengan 231 jenis tanaman obat, sebagai wahana Laboratorium alam bagi maha-siswa dan peneliti Jurusan Farmasi, dan pengembangan cagar buah seluas 10 hektar, dengan 43 jenis yang telah dibudidayakan.

(4). Tanaman hias perkotaan, yang merupakan lingkungan penyangga bangunan gedung dan tatanan taman kampus.

(c). Peran Mahkota Hijau sebagai wahana pelestarian alam hayati dan hewani, selain merupakan kawasan konservasi dan penangkaran sumberdaya plasma nutfah (hayati/hewani), juga merupakan perpaduan lingkungan (ekosistem hutan dan perairan) yang pada hakekatnya merupakan wahana dan mintakat sangtuari bagi kehidupan satwa liar, yang dapat tumbuh dan berkembang lebih leluasa, karena terdesaknya lingkungan di sekitarnya.

(d). Wahana Rekreasi dan Pendidikan, perpaduan dua ekosistem (hutan dan perairan), selain berfungsi pengatur tata air secara alami, dimanfaatkan juga sebagai salah satu wahana rekreasi dan sarana praktikum bagi mahasiswa di lingkungan Universitas Indonesia (Gagasan terwujudnya Biowisata Kampus).

Sebagai kata-kata akhir dapat disarikan bahwa:

(1). Mahkota Hijau merupakan model hutan kota yang akan menjadi percontohan, bagi pembangunan serupa di DKI Jakarta pada khusus-nya dan Indonesia pada umumnya;

(2). Kehadiran Mahkota Hijau dapat menyumbangkan banyak sekali manfaat bagi masyarakat di lingkungannya, baik DKI Jakarta, maupun sebagian masyarakat Jawa Barat pada umumnya, dan atau merupakan kepe-dulian Institusi terhadap pembangunan daerah, khususnya dalam pengem bangan Ruang Tebuka Hijau (RTH) wilayah koservasi resa-pan air tanah.

(3). Bagi almamater UI sendiri, selain menikmati manfaat serbagunanya secara langsung, Mahkota Hijau memberi arti khusus gambaran kepribadian, citra serta wibawanya yang luhur.

(4). Dengan berbagai nilai simbolik serta nilai-nilai serbaguna yang disandangnya, Mahkota Hijau mempunyai arti trategik bagi UI dalam lingkungan masyarakat hingga patut dipangku dan dikelola sebaik-baiknya, dengan:

(a). Mengelola Mahkota Hijau berdasarkan Rencana Pemangkuan yang legal, dan didukung oleh sarana/prasarana yang memadai.

(b). Mengkaitkan Mahkota Hijau dengan jaringan konservasi sumber-daya alam Nasional.

(c). Memacu bagi semua fihak untuk peduli terhadap pembangunan kawasan hijau, sebagai salah satu pengendali lingkungan fisik kritis akibat lajunya pembangunan fisik wilayah dan mening-katnya sumber-sumber kekritisan lingkungan hidup.

(5). Arti pentingnya pembangunan ekosistem perairan seluas 30 ha, yang memfungsikan Mahkota Hijau sebagai salah satu wilayah resapan dan tandon air, khususnya bagi kepentingan dan kebutuhan air baku di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.

(6). Bagi pemrakarsa/pengelola pembangunan hutan kota, merupakan karya besar atas kepedulian dan tanggung-jawabnya terhadap pengen-dalian dan penanganan lingkungan fisik kritis perkotaan.

DAFTAR ACUAN

Atlas DKI Jakarta Raya, Publikasi No.21 A, Direktorat Tata Guna Tanah, Departemen Dalam Negeri, Jakarta.

Anonymus, Peraturan Daerah DKI Jakarta No.5 Tahun 1984 tanggal 7 Maret 1984, Tentang Rencana Umum Tata Ruang daerah DKI Jakarta.

Dinas Pertamana DKI Jakarta. 1985. Data Saku. Dinas Pertamanan DKI Jakarta.

Aldhous, J. R. 1972. Nursey Practice. Forestry Commision Publication No.43, London.

Dochinger, Leon S. 1973 Trees for Polluted Air. Niscellaneous Publication No. 1230 of the Forest Service, US. Department of Agriculture Washington.

Embleton, T.F.W. 1963. Sound Propagation in Homogenous, and Evergreen woods. Journal of The Acoustical Society of America, Vol 33.

Ford F.C., & Robertson, (editors). 1971. Terminology of Forest Science, Technology Practice and Products. Society of American Foresters, Washington.

Grey, G.W., dan F. J. Denneke 1978. Urban Forestry. John Wiley and Sons, New York.

Hultman, S. 1978. Outdoor Recreation Wood Production Interfaces Within the Urban Forest. World Forestry Congress VIII, Jakarta.

Jorgensen, E. 1977. Vegetation Needs and Concerus in Urban Areas. The Forestry Chronicle.

Krugman, S. L. 1978. Wind breaks and Shelterbelts for an Improved Urban Environment. Special Paper pada Word Forestry Congress VIII, Jakarta.

Robinette, G.O. 1972. Plants, People and Environmental Quality. National Park Service, U.S. Department of the Interior.

Robinette, G. O. 1972. Plants and Their Environmental Functions. National Park Publication, U.S. Department of the Interior, Washington.

Smith, H.W. & L.S., Dochinger. 1976. Capability of Metropolitan Trees to Reduce Atmospheric Contaminents. Forest Service General Technical Report NE-22, USDA.

Sandy, I. M. 1982. Perkotaan. Publikasi No.126 Direktorat Tata Guna Tanah, Departemen Dalam Negeri, Jakarta.

SAF (Society of American Foresters). 1974. Urban Forestry Working Group. Directory of Urban Forestry.